25 November 2009

PENDERITA DENGAN KEGAGALAN PACU JANTUNG : Elevasi nilai ambang akibat fibrosis pada endokard


Yusra Pintaningrum, Iswanto Pratanu


Alat pacu jantung akhir-akhir ini berkembang dengan pesat. Kemajuan teknik dan teknologi mikroprosesor menghasilkan teknologi pemacuan yang canggih. Walaupun demikian, pacu jantung dapat mengalami malfungsi yang menimbulkan bahaya. Namun, kejadian malfungsi pemacuan tergolong jarang.

Kasus ini melaporkan seorang wanita 77 tahun yang memakai alat pacu jantung selama 8 tahun. Penderita ini sering mengalami kegagalan pacu jantung yang disebabkan oleh fibrosis pada endokard sehingga terjadin elevasi nilai ambang secara kronik. Peningkatan nilai ambang yang terjadi selama beberapa bulan pertama setelah implantasi sering terjadi. Hal ini terjadi selama proses maturasi antara elektroda dan miokardium. Untuk mengatasi hal tersebut, telah dipakai secara luas beberapa elektroda yang ujungnya diberi lapisan steroid, disamping penderita juga mendapat metilprednisolon peroral ,dimana tujuan dari pemberian steroid ini untuk meminimalkan respon inflamasi.


Naskah lengkap dapat dibaca disini

14 November 2009

PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA PENDERITA HEMODIALISIS

R.Mohammad Budiarto, Pranawa

Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko yang memperburuk dari penyakit ginjal kronik (PGK) karena hipertensi yang tidak terkendali dapat menyebabkan PGK menjadi end stage renal disesase (ESRD) yang akhirnya harus menjalani hemodialisis (HD). Batasan PGK itu sendiri menurut The National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome and Quality Initiative (NKF/KDOQI) adalah suatu kerusakan struktural atau fungsi ginjal minimal > 3 bulan dengan atau tanpa penuruanan glomelural filtration rate (GFR), adanya gangguan dari GFR <60> 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan dari ginjal. Kemudian PGK ini dibagi menjadi 5 stadium. Pada stadium 1 – 4 ini, penatalaksanaan PGK dengan hipertensi ditujukan untuk menghambat progresifitas kerusakan faal ginjal, sedang pada stadium 5 dan ESRD yang akan menjalani HD ditujukan menurunkan angka kematian akibat kelainan kardiovaskuler.(Sinvely,2004; NKF/DOQI,2002)
Berdasarkan data National Health and Nutrition Examination (NHAES), di Amerika hipertensi merupakan penyebab kedua terbanyak atau 29,9 % dari penderita hemodialisis, Di Surabaya pada tahun 1995 diperkirakan 22% dari HD disebabkan oleh hipertensi. Penelitian tahun 1998 pada 80 penderita yang menjalani hemodialisis kronik di Instalasi Hemodialisis RSUD Dr Soetomo Surabaya mendapatkan hipertensi pada 60% penderita, dimana hanya 35,42% dari jumlah tersebut yang tekanan darahnya dapat dikendalikan dengan obat antihipertensi. Sedangkan dari data US Data Renal System (USRDS) 26 % pasien ESRD tiap tahunnya dan menjalani HD. Oleh sebab itu diperlukan penanganan yang tepat pada pasien dengan hipertensi yang mengalami gangguan ginjal karena penatalaksanaan pasien hipertensi dengan PGK dan pasien hipertensi dengan HD berbeda. (NKF/DOQI,2002; Willcox,2002)
Untuk mencapai tujuan dalam menekan angka mortalitas dan morbiditas pada pasien HD maka target tekanan darah haruslah tercapai. Adanya kesepakatan target tekanan darah yang harus dicapai dengan pengobatan baik secara farmakologi maupun non farmakologis menyebabkan penatalaksanaan penderita HD bisa lebih baik sehingga dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas kadiovaskuler.

Naskah lengkap disini

INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR 1 DAN PENYAKIT KARDIOVASKULAR

Riana Handayani, Djoko Soemantri

Insulin-like growth factor-1 (IGF-1) disintesa hampir semua jaringan dan merupakan mediator pertumbuhan, diferensiasi dan tranformasi sel. Bicara mengenai IGF-1 tidak terlepas dengan Growth Hormon (GH), karena GH akan merangsang sintesis IGF-1. Reseptor GH diekspresikan lebih aktif di jantung dibandingkan dengan organ lain, dan perubahan sekresi GH akan menyebabkan perubahan secara pararel ekspresi IGF-1 pada jantung. Efek pertumbuhan pada GH dimediasi oleh IGF-1. Jadi IGF-1 merupakan faktor pertumbuhan jantung.1,2 
Pada studi terdahulu, dikatakan bahwa IGF-1 merupakan mediator proses aterosklerosis dan lesi vaskular, tetapi studi 4 tahun terakhir mengindikasikan bahwa IGF-1 serum rendah merupakan marker terjadinya aterosklerosis. Pasien defisiensi GH diketahui mengalami resistensi insulin, intoleransi glukosa, hipertensi, dislipidemia dan abnormalitas koagulasi, yang merupakan faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Pasien akromegali diketahui mengalami intimal-medial thickness (IMT) karotis lebih rendah dibandingkan dengan nonakromegali yang berhubungan dengan peningkatan kadar IGF-1.3,4
Interaksi IGF-1 dengan endotel akan memproduksi nitric oxide (NO) yang dapat mencegah disfungsi endotel dengan efek antiapoptosis dan antiinflamatori. IGF-1 juga menginduksi vasodilatasi dan mempertahankan aliran pembuluh darah koroner. IGF-1 dapat mengurangi kematian sel setelah infark miokard akut. IGF-1 dapat meningkatkan fungsi jantung pada pasien dengan gagal jantung. Karena efek biologi yang luas dan efek potensial terapi yang luas, IGF menjadi fokus penelitian oleh banyak peneliti. Selain potensial terapi yang luas, rendahnya kadar IGF-1 merupakan faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Sehingga dapat dikatakan bahwa rendahnya kadar IGF-1 merupakan faktor resiko independent penyakit kardiovaskular.

Naskah lengkap disini

11 November 2009

Pendekatan Stewart: Revolusi pada Analisa Keseimbangan Sistim Asam Basa Tubuh

Emile Parapat, Yudi Her Oktaviono


Konsentrasi hidrogen didalam plasma dan cairan tubuh manusia dijaga dengan ketat dalam rentang yang sangat sempit. Hal ini dikarenakan ion hidrogen sangat berpengaruh pada fungsi sel. Reaksi enzim dan berbagai proses intrasel lainnya sangat dipengaruhi oleh konsentrasi hidrogen lokal. Pemahaman yang benar mengenai mekanisme perubahan konsentrasi hidrogen jelas penting sekali untuk diagnosa dan terapi yang tepat.
Pendekatan tradisional pada analisa kelainan asam basa didasarkan pada karya Henderson dan Hasselbalch dan sampai sekarang masih luas digunakan. Metode ini relatif mudah dimengerti dan diterapkan dalam berbagai situasi klinis. Namun penggunaan HCO3– dan PaCO2 untuk mendiskripsikan berbagai kelainan asam basa membuat seolah-oleh kedua variabel ini adalah faktor independen yang menentukan nilai pH. Implikasinya adalah bahwa keseimbangan disosiasi asam karbonat dipandang sebagai patokan yang menentukan nilai pH dan keseimbangan dari buffer tubuh lainnya.
Stewart mengajukan pendekatan berbeda pada awal tahun 1980an. Ia menggunakan prinsip-prinsip dasar fisikokimia untuk menetapkan faktor-faktor yangi menentukan konsentrasi H+ dalam cairan biologis. Dengan pendekatan sistimatis Stewart menyusun persamaan matematis untuk menghitung konsentrasi hydrogen dan menentukan tiga variabel independen yang merupakan faktor-faktor penentu nilai pH serta menjelaskan bagaimana faktor-faktor lain termasuk [HCO3–] sebenarnya bergantung pada tiga faktor indenpenden tadi.


Naskah dapat dibaca disini

GAMBARAN EKOKARDIOGRAFI PADA PENYAKIT JANTUNG KARENA RADIASI

Riana Handayani, Budi Susetyo Juwono

Terapi radiasi merupakan salah satu pilihan terapi kanker disamping kemoterapi dan pembedahan. Ketika lapangan radiasi mencakup jantung, dapat terjadi efek yang tidak menguntungkan pada organ ini. Pendapat ini tidak dipercaya, sampai tahun 1960-an orang tetap berpendapat bahwa jantung adalah organ yang radioresisten. Tahun 1980-an issu tentang eksposure radiasi menyebabkan penyakit jantung koroner masih kontroversial. Baru pada tahun 1990-an jelas bahwa resiko kardiovaskular karena radiasi mediastinal mengurangi angka survival penderita kanker.1,2
Efek radiasi pada jantung dapat bermanifestasi pada perikard, miokard, katup-katup, arteri koroner dan sistem konduksi jantung. Ekokardiografi adalah salah satu alat penyaring noninvasif pada pasien-pasien kanker yang mendapat terapi radiasi disamping pemeriksaan fisik dan elektrokardiografi. Alat ini penting untuk mengevaluasi fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri, perikard, kerusakan miokard dan katub jantung. Ekokardiografi doppler juga dapat digunakan untuk menilai status hemodinamik pada pasien yang mendapat terapi radiasi. Pemeriksaan ekokardiografi seharusnya dilakukan secara rutin pada awal terapi radiasi dilakukan dan untuk reevaluasi

Naskah lengkap disini

10 November 2009

Penggunaan Drug Eluting Balloon (DEB) pada seorang penderita dengan Instent Restenosis pada stent Bare Metal Stent (BMS) di cabang LAD

Donny Hendrasto,Yudi Her Oktaviono

Instent restenosis (ISR) merupakan suatu keadaan yang dapat terjadi pada penderita dengan tindakan setelah Percutaneus Coronary Transluminal Angioplasty (PTCA) khususnya dalam pemasangan Bare Metal Stent (BMS), yaitu disebabkan oleh hyperplasia dari lapisan neo intimal sehingga menyebabkan penyempitan pada lumen yang telah terpasang stent tersebut.2,11,12
Insidens dari Instent restenosis(ISR) setelah PTCA berkisar 5% hingga 35% pada pemasangan BMS, maka dengan demikian perlu adanya upaya untuk mengatasi kondisi tersebut yang diantaranya sekarang sedang berkembang adalah penggunaan Drug Eluting Balloon(DEB) atau Drug Coated Balloon.2,11
Adapun dasar pemikiran bahwa konsentrasi efektif suatu bahan antiproliferatif dalam jangka pendek dapat menghambat proliferasi neointimal sehingga mencegah timbulnya in-stent restenosis,maka walaupun dalam era Drug Eluting Stent (DES)seperti sekarang ini,tampaknya masih diperlukan alternatif lain untuk penanganan ISR yaitu dengan DEB.2,11
Naskah lengkap disini

DEEP VEIN TROMBOSIS PADA SEORANG PASIEN DIABETES MELLITUS

R. Mohammad Budiarto, Djoko Santoso

Deep Vein Trombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen pembuluh darah vena dalam (deep vein) yang diikuti atau diakibatkan suatu reaksi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan jaringan perivena. Berdasarkan data di Amerika DVT merupakan penyebab kematian terbanyak, sekitar 200 ribu orang yang meninggal akibat trombosis vena atau arteri (Lopez , 2004).
 Virchow menyebutkan bahwa patogenesis DVT terutama disebabkan adanya abnormalitas dinding pembuluh darah, stasis aliran darah vena dan perubahan-perubahan pada elemen darah baik yang terlarut maupun yang berbentuk. Yang dimaksud dengan yang terakhir adalah adanya kelainan jumlah pada protein-ptotein darah, eritrosit, lekosit dan trombosit baik secara kongenital maupun didapat. Selain itu bisa disebabkan oleh keganasan, pemakaian kontrasepsi oral, efek hormonal, infeksi, pembedahan dan inaktivitas (Bates, 2004).
DVT biasanya terjadi didaerah sinus pembuluh darah pada otot ekstremitas bawah tetapi adakalanya terjadi pada pembuluh darah daerah proksimal, biasanya sebagai respon akibat trauma maupun tindakan operasi. Oleh sebab itu diperlukan penanganan yang optimal pada penderita DVT agar tidak terjadi komplikasi seperti perluasan trombus, emboli paru, trombosis berulang serta sindroma paska-phlebitis yang dapat meningkatkan morbiditas (Schreiber, 2008).
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit yang menyebabkan terjadinya gangguan pada tingkat makrovaskuler dan mikrovaskuler, dengan hasil akhir berupa gangguan homeostasis. Dalam keadaan normal didalam pembuluh darah substansi aktif mengalami sintesis dan beredar untuk menjaga homeostasis pembuluh darah, aliran darah dan memberi nutrisi sehingga terjadinya trombosis dapat dicegah (Luscher, 2003; Creager, 2004).

Naskah dapat dibaca disini

04 November 2009

PCI PADA PENDERITA UNSTABLE ANGINA OLEH KARENA MYOCARDIAL BRIDGING

Sri Hastuti, Iswanto Pratanu

Myocardial bridging (MB) adalah suatu anomali arteri koroner yang ditandai adanya arteri koroner epikardial yang masuk kedalam miokard. Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh Reyman pada tahun 1737 dan pertama kali digambarkan secara angiografi oleh Portman dan Iwig pada tahun 1961. Prevalensi MB yang ditemukan dengan otopsi bervariasi dari 5.4%-85.7% dan secara angiografi berkisar 0.5%-16%. Insiden anomali ini lebih tinggi wanita dibandingkan pria.

MB sering ditemukan di mid arteri desenden anterior kiri (LAD), dan secara angiografi tampak suatu penekanan arteri koroner epikardial. Gangguan yang spesifik dapat dilihat dengan angiografi koroner yang bersifat kuantitatif, studi doppler intrakoroner, dan ultrasonografi intravaskuler. Derajad obstruksi MB bergantung pada lokasi, ketebalan, panjang MB dan derajad kontraktilitas jantung. MB sebenarnya suatu kondisi benigna, namun kadang-kadang memiliki komplikasi iskemia, sindrom koroner akut, spasme koroner, ruptur septal ventrikel, aritmia (meliputi supra ventricular tachycardia dan ventricular tachicardia), AV blok yang dicetuskan oleh exercise, stunning, disfungsi ventrikel yang bersifat sementara, kematian dini setelah transplantasi jantung, dan kematian mendadak.
Naskah lengkap disini

Inferior Vena Cava Filter on Lower Limb Deep Vein Thrombosis

Andrianto, Yudi Her Oktaviono
Trombosis vena profunda dan emboli pulmonal merupakan dua hal dari satu rangkaian proses penyakit. Trombosis vena profunda tungkai bawah menjadi penyebab lebih dari 90% kasus emboli pulmonal, namun hanya sekitar 10% kasus tersebut tampak secara klinis. Komplikasi paling berat dari penyakit tromboemboli vena adalah emboli pulmonal.
Trombosis vena profunda paling sering terjadi pada tungkai bawah dan dapat pula timbul hanya pada vena tungkai atas atau pelvis. Culprit veins yang sering terlibat pada kejadian emboli pulmonal yang bermakna secara klinis adalah cephalad sampai dengan trifurkasio.
Emboli pulmonal akan menimbulkan simtom bila emboli berukuran besar, dan bila emboli berdiameter lebih dari 7,5 mm dapat berakibat fatal. Perawatan di rumah sakit diperlukan bagi pasien dengan emboli pulmonal. Di Amerika Serikat, setiap tahun didiagnosis 355.000 pasien dengan emboli pulmonal, dan sebanyak 240.000 diantaranya meninggal. Emboli pulmonal menempati urutan ketiga sebagai penyebab tersering kematian mendadak penyakit kardiovaskular.
Naskah lengkap disini

Media Edukasi dan Silaturahmi Alumni & PPDS Kardiologi Unair

Non Scholae Sad Vitae

Google
WWW Blog ini