21 Desember 2009

ASPIRASI TROMBUS SEBAGAI INTERVENSI MEKANIK TAMBAHAN PADA PENATALAKSANAAN PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI SEGMEN ST

Fadillah Maricar, Jeffrey Daniel Adipranoto

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di negara-negara maju, memegang peranan pada hampir 1 juta kematian di Amerika Serikat per tahun. Sekitar 50% dari kasus kematian tersebut disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Dengan makin berkembangnya kondisi ekonomi di negara berkembang, disertai dengan menurunnya angka penyakit infeksi dan perubahan gaya hidup yang menunjang terjadinya proses atherosklerosis menyebabkan meningkatnya angka kejadian penyakit jantung koroner. Di Indonesia, berdasarkan laporan Ditjen Yanmed Depkes RI tahun 2005, penyakit sistem sirkulasi termasuk didalamnya penyakit kardiovaskular dan stroke menjadi penyebab kematian utama. Dan bahwa penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama pada usia produktif 35-44 tahun. Berdasarkan SKRT tahun 2004 bahwa angka kesakitan koroner adalah 3% dari jumlah penduduk Indonesia.1,2
Sindroma koroner akut merupakan kegawatan pada penyakit jantung koroner yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) maupun tanpa elevasi 
segmen ST (NSTEMI) dan Unstable angina (UA). Walaupun pada era trombolitik serta terapi reperfusi lainnya saat ini yang memerlukan tindakan yang cepat pada kasus STEMI sehingga menarik banyak perhatian khusus, UA / NSTEMI merupakan kasus yang lebih banyak ditemukan dibandingkan STEMI. Di amerika Serikat, didapatkan sekitar 1,3 juta penderita per tahun yang dirawat dengan UA/NSTEMI dibandingkan 350.000 penderita dengan STEMI.1
Penatalaksanaan UA/NSTEMI ditujukan untuk menstabilkan lesi koroner yang akut, mengobati residual iskemia dan prevensi sekunder jangka panjang. Tujuan ini dapat dicapai dengan terapi farmakologik maupun intervensi untuk revaskularisasi. Walaupun dengan tercapainya perbaikan aliran koroner epikardial yang normal dengan tindakan revaskularisasi, kadang-kadang masih ditemukan perfusi miokard yang inadekuat. Hal ini disebabkan karena mikroemboli pada distal vaskular yang menyebabkan gangguan mikro-sirkulasi yang berakhir dengan fenomena slow-reflow atau no-reflow. Tindakan untuk mengurangi risiko ini, diupayakan dengan pemberian antitrombotik secara agresif maupun evakuasi trombus secara mekanik. Aspirasi trombus secara manual cukup sering menjadi pilihan karena prosedurnya yang mudah, murah dan angka keberhasilan tindakannya cukup baik.

Naskah lengkap disini 

14 Desember 2009

MANAGEMENT OF SEVERE LEFT MAIN CORONARY ARTERY STENOSIS WITH BYPASS GRAFT FAILURE

Joeristanti Soelistyaningroem, Iswanto Pratanu

Stenosis yang signifikan pada Left Main Coronary Artery (LMCA) pertama kali dideskripsikan oleh Herrick (1912) , prevalensinya sekitar 2,5% - 10% pada penderita penyakit arteri koroner, dan sekitar 4%-6% ditemukan pada penderita yang sedang dilakukan angiografi koroner. Kondisi ini merupakan resiko tinggi , dengan angka mortalitas 5 tahun sebesar 42% jika hanya diberikan pengobatan medikamentosa. Angka morbiditas dan mortalitas ini tergantung dari beberapa faktor, termasuk beratnya stenosis LMCA, serta kondisi dari arteri koroner lainnya, yaitu Right Coronary Artery (RCA), left dominance, dan fungsi ventrikel kiri (LV) 1,2
Guideline terbaru merekomendasikan Coronary artery Bypass Grafting (CABG) sebagai terapi standar pada penderita stenosis LMCA. Karena selain mempunyai angka harapan hidup yang lebih bagus, beberapa penderita stenosis LMCA juga mempunyai multi-vessel coronary artery disease dimana revaskularisasi koroner dengan CABG mempunyai beberapa keuntungan.2,3,4
Meskipun teknik CABG yang semakin berkembang, iskemia miokard paska operasi masih merupakan problem yang penting, terjadi pada 3%-5% penderita post CABG. Oklusi graft atau trombosis merupakan penyebab tersering terjadinya iskemia ini, dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan. Dilaporkan rata-rata angka mortalitas graft failure sekitar 14,5%- 21,7 %. Dimana arteri radialis graft mempunyai resiko tinggi terjadinya oklusi maupun severe flow limiting disease. Pemeriksaan angiografi koroner berguna untuk menegakkan diagnosa, mengetahui penyebab dari graft failure, serta menentukan tindakan selanjutnya. Penderita dengan graft failure akibat proses patologis dapat dilakukan PCI pada native coronary artery dengan aman

Naskah lengkap disini

PERANAN LATIHAN FISIK PADA REHABILITASI GAGAL JANTUNG KRONIK

Joeristanti Soelistyaningroem, Jatno Karyono

Gagal jantung tetap menjadi masalah utama kesehatan pada masa ini. Adalah sindroma klinik kompleks akibat kelainan struktur dan fungsi jantung, dan merupakan perjalanan penyakit jantung yang terakhir dimana terbanyak oleh karena penyakit jantung iskemik dan hipertensi. Insidensnya meningkat di seluruh dunia, di Amerika Serikat terdapat 5.000.000 penderita gagal jantung, dan 15.000.000 penderita di seluruh dunia, serta diperkirakan 2% dari total populasi di negara berkembang adalah penderita gagal jantung. Insidensnya semakin tinggi dengan meningkatnya usia, pada usia kurang dari 65 tahun didapatkan perbandingan laki-laki : wanita sekitar 1 : 0,4. 1,2,3
 Selain masalah insidensi, hospitalisasi, mortalitas, dan biaya sosioekonomi, perihal kualitas hidup dan kesehatan psikologis penderita gagal jantung juga penting. Belum ada obat untuk menyembuhkan gagal jantung, tatalaksana pada gagal jantung utamanya bertujuan untuk memperpanjang hidup dan meningkatkakan kualitas hidup dalam arti perbaikan gejala. Kualitas hidup penderita berkaitan dengan derajat kapasitas fungsionalnya, dimana keterbatasan kapasitas fungsional merupakan manifestasi kardinal gagal jantung, dan derajatnya bervariasi tergantung pada beratnya penyakit. Derajat kapasitas fungsional terbukti turut mempengaruhi laju kelangsungan hidup dan kualitas hidup penderita.2,4,5
Biasanya penderita gagal jantung mengeluh adanya keterbatasan dalam aktifitas fisik, tetapi terkadang saran dokter kurang sesuai untuk penderita ini, dimana penderita tidak diperbolehan melakukan aktifitas sehingga terjadi hal sebaliknya, terjadi peningkatan gejala gagal jantung. Pendekatan konseling terhadap penderita gagal jantung semakin berubah dewasa ini, beberapa ahli merekomendasikan penderita diperbolehkan melakukan aktifitas fisik sehari-hari. Data tersebut ditunjang dengan beberapa penelitian yang melaporkan bahwa latihan fisik pada penderita gagal jantung dapat memperbaiki gejala, toleransi latihan, kualitas hidup, dan mempunyai angka keberhasilan outcome klinik

Naskah lengkap disini

EKHOKARDIOGRAFI PADA KARDIOMIOPATI DILATASI:Applications, Utility and New Horizons

Joeristanti Soelistyaningroem, Achmad Lefi

Kardiomiopati dilatasi atau Dilated Cardiomyopathy (DCM) merupakan kasus kardiomiopati yang terbanyak dibanding tipe kardomiopati lainnya, dengan karakteristik meningkatnya massa dan volume dari miokard, sehingga dinding miokard ini menjadi tipis dan tegang yang mengakibatkan terganggunya fungsi dari ventrikel kiri (LV). Kardiomiopati ini merupakan tahap evolusi terakhir dari beberapa penyakit jantung, dan merupakan sindroma klinis yang tersering dari gagal jantung. Kondisi ini merupakan problem klinis yang penting karena mempunyai angka morbiditas, mortalitas, serta rehospitalisasi yang tinggi. 1,2,3
Di Amerika Serikat didapatkan 2 juta kasus gagal jantung kongestif dengan menurunnya ejection fraction dari ventrikel kiri, dengan presentasi klinis DCM. Dilaporkan insidens penyakit ini sekitar 5-8 kasus/100.000 populasi/tahun, dan kecenderungannya akan semakin bertambah, bisa terjadi pada semua usia, tetapi yang tersering terjadi pada laki-laki usia 20-50 tahun. Angka mortalitasnya sekitar 50% dalam 5 tahun, dan 19% diantaranya mengalami hospitalisasi dalam 1 tahun sejak didiagnosa sebagai kardomiopati dilatasi.1,2,3
Penyebab terjadinya kardiomiopati dilatasi sangat beragam, di Amerika serikat, penyebab tersering adalah sekunder akibat penyakit jantung koroner, hipertensi dan penyakit jantung katup. Sedangkan faktor keturunan (familial) diidentifikasi sekitar 25-35%. Penyebab yang lain adalah alcohol-induced cardiomyopathy, peripartum cardiomyopathy, hemokromatosis, anemia kronis, non-compaction cardiomyopathy, adriamycin toxicity, sarkoidosis and miokarditis akibat virus. Jika kelainan patologi ini tidak teridentifikasi, maka disebut sebadai idiopathic dilated cardiomyopathy (iDCM)

Naskah lengkap disini

COMPREHENSIVE HEMODYNAMIC SUPPORT:A Bridge to Primary Angioplasty In Acute Myocardial Infarction with Cardiogenic Shock

Joeristanti Soelistyaningroem, Jeffrey Daniel Adipranoto

Syok kardiogenik adalah kondisi dimana terjadi perfusi jaringan yang tidak adekuat akibat adanya disfungsi miokard, terbanyak disebabkan oleh infark miokard akut (IMA). Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian tersering pada penderita IMA, insiden ini tetap konstan selama 25 tahun. Pada beberapa penelitian, insidens penderita dengan IMA disertai syok kardiogenik mencapai 8,6%, sedangkan angka mortalitas penderita ini berkisar 50-80%.1,2,3,4,5
Syok kardiogenik terbanyak disebabkan oleh infark miokard anterior (55 %), kemudian inferior (46 %), posterior (21 %) dan infark multiple (50%) . Pada penderita dengan infark inferior, sekitar 30-50% terjadi infark ventrikel kanan, dan mempunyai presentasi klinik yang signifikan pada 10% penderita. Penderita dengan infark RV ini mempunyai resiko tinggi untuk terjadi syok kardiogenik, total AV blok, ruptur free wall dari ventrikel kanan, tamponade jantung, emboli paru, takikardia atrial dan supraventrikular serta atrial fibrilasi. Angka kematian infark inferior yang disertai dengan infark RV sebesar 25-30%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan infark inferior tanpa disertai RV, sekitar 6%.1,4,6,8,9,10 Ada perbedaan syok kardiogenik akibat infark RV maupun LV, perbedaan ini terlihat dari patofisiologi, natural history dan manajemennya.

Naskah lengkap disini

AORTIC VALVE REPAIR: Intervensi bedah pada penderita Aorta Stenosis Valvular

Joeristanti Soelistyaningroem, Alit Utamayasa, Mahrus A Rahman, Teddy Ontoseno

Aorta Stenosis (AS) pada anak-anak merupakan kelainan kongenital di daerah left ventricular outflow tract (LVOT) akibat adanya abnormalitas di atas katup aorta (supra valvular), setinggi katup aorta (aortic valve), dan setelah katup aorta (sub valvular). Kelainan ini dapat menyebabkan obstruksi aliran darah dari left ventricle (LV) menuju sirkulasi sistemik, baik itu dari derajat ringan sampai berat .1,2,3,4
 Insidens AS kongenital terdapat sekitar lebih dari 10% dari seluruh penyakit jantung kongenital, dimana terbanyak adalah valvular stenosis (71%), kemudian subvalvular stenosis (23%), dan supravalvular stenosis (6%).4 Dilaporkan kejadian AS valvular berkisar antara 0,04-0,38 / 1000 kelahiran hidup. Presentasi ini terbanyak pada anak laki-laki, dengan perbandingan laki-laki : perempuan sekitar 4:1.1,2,3 Penyebab tersering AS valvular adalah bikuspid, meskipun pada beberapa penderita diantaranya yang mempunyai trikuspid. Dengan bertambahnya usia kelainan ini menyebabkan kondisi pressure overload pada LV, sehingga mengakibatkan hipertrofi LV dan akan menyebabkan gagal jantung. 1,2,3,4
Angka kematian tertinggi pada penderita dengan derajat stenosis berat maupun kritikal, biasanya pada usia satu tahun pertama, terutama pada periode neonatal. Angka kematian ini lebih tinggi jika didapatkan kelainan kongenital yang bersamaan (sekitar 20% penderita), misalnya patent ductus arteriosus (PDA), coarctation of the aorta, ventricular septal defect, abnormalitas katup mitral, dan left ventricular hypoplasia. 1,2,4 Pada penderita AS yang tidak terdeteksi dapat menyebabkan kematian mendadak, insidens ini terjadi sekitar 1% dari semua penyebab kematian mendadak pada penderita anak-anak dan dewasa muda

Naskah lengkap disini

ATRIAL FLUTTER: Mechanisms, Clinical Features and Current Management

Joeristanti Soelistyaningroem, Budi Baktijasa

Atrial flutter (AFL) adalah takiaritmia atrial yang sering terjadi, kedua terbanyak setelah atrial fibrilasi. Meskipun aritmia ini diketahui sejak tahun 1911 oleh Jolly dan Ritchie, mekanismenya sangat sedikit diketahui, dan diagnosis serta manajemen atrial flutter telah berubah sedikit demi sedikit selama beberapa tahun. Atrial flutter terjadi pada sekitar 88 kasus pada 100.000 penderita baru setiap tahunnya, di Amerika Serikat didapatkan 200.000 penderita dengan atrial flutter setiap tahun. Pada beberapa review ECG secara serial di rumahsakit, dilaporkan insidens atrial flutter 1 diantara 238 penderita dan kecenderungan meningkat menjadi 1 diantara 81 penderita, tersering pada laki-laki dengan perbandingan laki-laki : wanita sebanyak 4,7:1. 1,2
Awalnya mekanisme atrial flutter diduga berupa single focus firing rapidly atau beberapa bentuk reentry. Kemudian dengan berkembangnya teknik endocardial mapping dapat memperjelas mekanisme elektrofisiologi aritmia ini . Puech dkk (1970) melaporkan siklus atrial flutter merupakan aktivasi menyeluruh dalam atrium kanan. Hal ini ditunjang oleh penelitian Waldo dkk (1977) yang melaporkan adanya mekanisme reentry pada area atrium yang besar. Atrial flutter didiagnosis melalui elektrokardiogram (EKG), Lewis (1913) melaporkan gambaran klasik EKG adanya sawtooth pattern dengan defleksi negatif gelombang atrial (gelombang P) yang terlihat pada lead II dan III, dengan kecepatan atrial 240-400 x/m.3,4,5,6,7
Pada umumnya atrial flutter adalah paroksismal, dan sangat bervariasi dalam durasinya, bisa dalam hitungan jam sampai hari. Jarang terjadi atrial flutter yang persisten (stabil dan kronis), karena biasanya berubah menjadi irama sinus atau atrial fibrillasi baik secara spontan maupun dengan medikamentosa. Aritmia ini dapat terjadi pada kondisi struktur atrium yang normal maupun abnormal. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan atrial flutter adalah penyakit jantung katup mitral maupun trikuspid, thyrotoxicosis, paska repair penyakit jantung congenital, serta cronic obstructive pulmonary disease (COPD). Atrial flutter sering berhubungan dengan atrial fibrillasi, dapat terjadi secara bersama pada satu penderita, dan iramanya bisa berubah-ubah antara flutter dan fibrillasi. 

Naskah lengkap disini

GAMBARAN EKHOKARDIOGRAFI PADA HIPERTENSI SISTEMIK

Fadillah Maricar, Budi Susetyo Juwono

Hipertensi sistemik ( hipertensi ) merupakan salah satu penyakit terbanyak yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas di dunia.5,15
Menurut National Ambulatory Care Survey pada tahun 1997 didapatkan sekitar lebih dari 100 juta orang di United State yang menderita hipertensi. Dan diperkirakan akan menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia yang penting pada tahun 2020.5,15
Hipertensi mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas angka kejadian kardiovaskuler. Data penelitian menunjukkan bahwa angka kematian penderita dengan hipertensi cukup tinggi, terkait dengan penyakit jantung koroner, stroke dan gagal ginjal sebagai komplikasinya.5,10,15  
Walaupun prevalensinya yang cukup tinggi dan ancaman bahaya komplikasinya, terapi hipertensi sebagian besar masih cenderung inadekuat. Hal ini disebabkan oleh perjalanan klinis penyakit yang umumnya asimtomatik pada 15 sampai 20 tahun pertama. Data dari Framingham Study menunjukkan bahwa mortalitas akibat kejadian kardiovaskular meningkat tajam dengan adanya hipertrofi pada jantung akibat hipertensi. Dan hal ini terlihat dalam jumlah yang kecil dengan menggunakan elektokardiografi maupun foto thorax. Ekokardiografi dalam hal ini memegang peranan penting, karena dapat menilai anatomi dan fungsi jantung sehingga mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi dalam mendiagnosis hipertrofi jantung


Naskah lengkap disini

11 Desember 2009

Speckle Tracking Echocardiography

Emile Parapat, Budi Susetyo Pikir

Penilaian fungsi jantung secara non invasif sangat penting dalam bidang kardiologi klinis dan sampai sekarang echokardiografi masih merupakan modalitas pilihan pertama untuk menilai fungsi jantung. Penilaian fungsi jantung dengan teknik echokardiografi konvensional dapat dikatakan cukup subyektif. Fungsi global ventrikel kiri diestimasi dari volume ventrikel pada akhir fase diastolik dan sistolik dan dihitung menggunakan rumus yang menyedernakan bentuk ruang ventrikel. Penebalan dan gerakan segmen dinding jantung juga diestimasi secara visual. Cara ini hanya memungkinkan penilaian kontraksi radial miokard padahal kontraktilitas jantung terdiri dari penebalan (circumferential), pemendekan (longitudinal) dan perputaran (torsion / twisting). Jelas pendekatan kualitatif ini memiliki kelemahan seperti ketergantungan pada kejelian visual pemeriksa, variabilitas intraobserver dan interoberver yang besar, dan ketidakmampuan mendeteksi kelainan pada daerah yang kecil.1,2 
Speckle tracking echocardiography (STE) adalah metode non invasif terbaru untuk secara kuantitatif menilai fungsi global dan regional dari vantrikel kiri. STE memungkinkan penilaian deformasi miokard yang angle independent. Sebelum penemuan STE, satu-satunya cara penilaian kontraktilitas jantung yang tidak dipengaruhi sudut pengambilan gambar adalah tagged cardiac magnetic resonance (cMR). Keterbatasan modalitas ini adalah frame rate gambar yang rendah, biayanya mahal serta analisa datanya kompleks dan memakan waktu. Sebab itu, STE mulai dipromosikan sebagai alternatif dan metode ini telah divalidasi oleh teknik sonomicrometry, tagged cMR and colour-coded tissue Doppler echocardiography. Beberapa penelitian telah menunjukkan akurasi dan konsistensi metode ini

Naskah lengkap disini

10 Desember 2009

Resistensi Aspirin dan Clopidogrel

Achmad Yusri, Yudi Her Oktaviono

Aspirin dan clopidogrel telah lama dipakai sebagai tatalaksana penderita sindrom koroner akut (SKA ), stroke infark dan pasien-pasien yang menjalani PTCA. Obat-obat yang bekerja menekan agregasi platelet terbukti memberi manfaat dalam menurunkan kejadian kardiovaskuler baru maupun ulangan, angka morbiditas dan mortalitas. Beberapa studi bahkan menunjukkan manfaat yang lebih besar apabila kedua terapi ini diberikan secara bersamaan terutama pada penderita dengan sindrom koroner akut dan yang menjalani ’percutaneous coronary intervention’ ( PCI ).
Meskipun aspirin dan clopidogrel memiliki manfaat dalam menurunkan kejadian kardiovaskuler namun kejadian kardiovaskuler masih sering terjadi pada penderita yang menerima dua terapi di atas. Hal ini disebabkan karena proses agregasi dari trombosit melibatkan banyak jalur, selain jalur thromboxan A2 dan ADP yang dihambat oleh aspirin dan clopidogrel, disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi efektifitas ke dua obat tersebut. Kegagalan dari aspirin maupun clopidogrel dalam mencegah kejadian kardiovaskular inilah yang didefinisikan sebagai resistensi aspirin dan clopidogrel.
Tingginya kejadian akut dan sub akut stent thrombosis, serta SKA paska pemberian dual antiplatelet ( aspirin-clopidogrel ) telah menjadikan isu tentang resistensi aspirin dan clopidogrel menjadi suatu tantangan global bagi para klinisi dalam menciptakan strategi yang ideal dalam tata laksana PJK
Naskah lengkap disini

PENGGUNAAN NSAID DAN RISIKO KARDIOVASKULAR

Erika Arys Sandra, Bambang Herwanto

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) merupakan kelompok obat yang heterogen, ditandai oleh berbagai derajat antiinflamasi, analgesik dan antipiretik. NSAID meliputi NSAID non-selektif (nsNSAID) / NSAID tradisional (tNSAID) dan yang terbaru adalah penghambat selektif terhadap COX-2 (coxib), yang muncul untuk mengurangi efek samping gastrointestinal yang biasa ditimbulkan oleh penggunaan nsNSAID. Keduanya mempunyai kesamaan dalam hal efek terapi, yaitu sama-sama menghambat biosintesis prostaglandin (Howard 2004, Fries 2005).
NSAID banyak digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri akut, inflamasi kronik dan penyakit persendian degeneratif seperti rheumatoid arthritis dan osteoarthritis. NSAID merupakan obat yang paling banyak diresepkan secara luas di seluruh dunia dengan perkiraan 100 juta peresepan pada 1986. Selain itu, penggunaan obat tersebut tanpa menggunakan resep juga sering dijumpai. Penggunaan penghambat selektif terhadap COX-2 atau “coxib” meningkat secara dramatis sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1999 (Howard 2004, Patrignani 2008).

Naskah lengkap disini

CIRRHOTIC CARDIOMYOPATHY

Endah Tatyana Rachmawati, Esti Hindariati

Sirosis hati (SH) adalah suatu kondisi hati dengan gambaran patologi terdiri dari fibrosis yang menyebabkan perubahan arsitektur hati oleh formasi nodul-nodul regeneratif. Pemicu fibrosis dapat ditimbulkan oleh aktivasi sel-sel stellate hati, yang mengakibatkan peningkatan penumpukan kolagen dan komponen matriks ekstra sel. Hasil akhir dari perubahan ini adalah penurunan massa sel hati, fungsi hati, dan perubahan vaskuler hati. Penyebab sirosis diantaranya adalah alkoholisme, virus hepatitis B, C, hepatitis autoimun, sitomegalovirus, dll (Bacon, 2008).

Sirosis hati berhubungan dengan abnormalitas kardiovaskuler, pertama kali digambarkan oleh Kowalski dan Abelmann pada tahun 1953, yaitu adanya cardiac output basal yang meningkat, serta penurunan resistensi pembuluh darah sistemik. Penelitian selanjutnya menunjukkan adanya sirkulasi hiperdinamik yang ditandai oleh vasodilatasi perifer dan peningkatan cardiac output (Al Hamoudi, 2006). Perubahan vaskuler, tidak terbatas pada hati, namun juga terjadi pada limpa, jantung, paru, ginjal, otak, dll. Disamping hepatorenal syndrome, saat ini juga dikenal istilah klinis baru, yakni cirrhotic cardiomyopathy dan hepatopulmonary syndrome (Moller, 2006; Bosch, 2007).

Naskah lengkap disini


The Stent : From Where to Where?

M. Yusuf Suseno, Yudi Her Oktaviono

Percutaneus transluminal coronary angioplasty (PTCA) diperkenalkan oleh Andreas Gruentzig(1939-1985) di Zurich, Swiss, tahun 1977. Keduanya, sang dokter dan pasien pertamanya, sama-sama berusia 38 tahun.2
Prosedur tersebut semula dibatasi pada pasien dengan penyakit jantung koroner(PJK) simptomatis sebagai alternatif coronary artery bypass grafting (CABG).3 Tetapi penurunan tingkat stenosis dan perbaikan gejala klinis yang terjadi meningkatkan penggunaan metode ini, terutama pada dekade berikutnya.4 Namun, PTCA dikritik karena prosedur ini memiliki banyak keterbatasan.5
Pertama, penutupan pembuluh darah yang mendadak(abrupt vessel closure). Abrupt vessel closure terjadi karena diseksi saat angioplasty, juga pembentukan trombus pada 6.8 hingga 8.3 persen kasus.6,7,8 Komplikasi ini bisa muncul dalam beberapa menit setelah dilatasi balon, tetapi dapat pula terjadi beberapa jam kemudian.9
Masalah kedua adalah restenosis. Pada era 1980-an, restenosis terjadi pada 30–60% pasien dan menimbulkan gejala terutama pada 1–4 bulan paska prosedur.10 Restenosis bertanggung jawab pada tingginya tingkat hospitalisasi dan reintervensi.5 Pengalaman yang bertambah pada teknologi PTCA mempeluas seleksi pasien dan menurunkan tingkat restenosis. Tetapi terobosan terbesar pada dunia intervensi koroner adalah penemuan stent koroner. 10

Naskah lengkap disini

PENGARUH KEMOTERAPI TERHADAP KARDIOVASKULER

Edy Kurniawan, Budi Bakti

Kanker adalah proliferasi abnormal dari sel yang tidak terkendali dan kecenderungan menyebar keseluruh tubuh. Perkembangan penanganan kanker pada akhir ini mengalami kemajuan yang pesat demikian juga terjadi penurunan angka kesakitan dan kematian dari beberapa jenis kanker. Penanganan yang menyeluruh meliputi deteksi dini, kontrol yang teratur serta ketersediaan obat merupakan faktor yang berperan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian penderita kanker.
Penanganan kanker meliputi pembedahan, terapi medik, radioterapi, imunoterapi, maupun terapi kombinasi, akan dapat memperbaiki kualitas hidup penderita dan meningkatkan usia harapan hidup penderita jauh lebih baik.(Lefor AT, 1999, Edward T.H. Yeh, MD; Ann T. Tong, MD; Daniel J. Lenihan, MD et.al 2004)
Terapi medik atau kemoterapi adalah penggunaan bahan kimia atau obat-obatan yang bisa menghambat atau membunuh sel kanker. Kemoterapi bisa diberikan secara intravena atau oral.(ACS, 2005)
Semua obat mempunyai efek samping yang tidak diharapkan demikian juga kemoterapi yang dapat menyebabkan gangguan pada semua organ. Efek samping obat bisa timbul pada fase dini ataupun lambat dan bisa mengenai semua organ sasaran meskipun pemberiannya sesuai dengan dosis terapi sehingga monitoring efek samping obat (MESO) senantiasa harus dilakukan.(Soebandiri,1997).

Naskah lengkap disini

Media Edukasi dan Silaturahmi Alumni & PPDS Kardiologi Unair

Non Scholae Sad Vitae

Google
WWW Blog ini