28 September 2010

SEORANG WANITA PENDERITA ARTRITIS GOUT DENGAN TOFUS MULTIPEL


Nupriyanto, Joewono Soeroso

Gout adalah penyakit yang disebabkan penimbunan kristal monosodium urat monohidrat di jaringan akibat adanya supersaturasi asam urat (Soeroso, 2007). Gout ditandai dengan peningkatan kadar urat dalam serum, serangan artritis gout akut, terbentuknya tofus, nefropati gout dan batu asam urat (Wortmann, 2008).

Gout merupakan penyebab tersering artritis dan prevalensinya semakin meningkat. Insidensnya bervariasi di beberapa populasi, berkisar mulai kurang dari 1% sampai 15,3% (Mikuls, 2006). Insidens gout pada laki-laki dan wanita meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir (Arromdee, 2002). Peningkatan ini diduga berkaitan dengan peningkatan umur harapan hidup, perubahan pola makan (daging, seafood, pemanis fruktosa dan bir) dan peningkatan penyakit penyerta yang berhubungan dengan gout, seperti penyakit ginjal kronik, gagal jantung kongestif, sindroma metabolik dan hipertensi (Terkeltaub, 2010; Weaver, 2008).

Gout jarang dijumpai pada wanita dan lebih sering pada laki-laki (Soeroso, 2007), dengan perbandingan laki-laki dan wanita 7:1 sampai 9:1 (Mahajan, 2007). Di Jawa, rasio gout pada laki-laki dibanding wanita adalah 34:1 (Darmawan, 1992). Rasio gout pada wanita makin meningkat sesuai meningkatnya umur akibat perubahan status estrogen. Gout pada wanita terjadi terutama setelah menopause. Peran estrogen dalam melindungi wanita dari hiperurisemia dan gout adalah hormon ini dapat menurunkan kadar urat serum karena mempunyai efek urikosurik ringan. Setelah menopause terjadi penurunan estrogen sehingga kadar urat meningkat menyebabkan peningkatan insidens gout (Mahajan, 2007).

Tofus adalah nodul berbentuk padat yang terdiri dari deposit kristal asam urat yang keras, tidak nyeri dan terdapat pada sendi atau jaringan (Terkeltaub, 2010). Tofus merupakan komplikasi kronis dari hiperurisemia akibat kemampuan eliminasi urat tidak secepat produksinya. Tofus dapat muncul di banyak tempat, diantaranya kartilago, membrana sinovial, tendon, jaringan lunak dan lain-lain (Wortman, 2008).

Prevalensinya pada wanita yang lebih sedikit daripada laki-laki dan gambaran klinis serta faktor komorbid gout pada wanita yang sedikit berbeda dibandingkan laki-laki (Mahajan, 2007) menyebabkan sering terjadi misdiagnosis gout dan/atau terjadi keterlambatan diagnosis pada perempuan (McClory, 2009).

Berikut akan dilaporkan kasus seorang wanita yang didiagnosis artritis gout dengan tofus multipel.

Naskah selengkapnya disini

21 September 2010

HALAL BI HALAL BERSAMA DEPT-SMF PENYAKIT DALAM, PARU, DAN JANTUNG


Paskalers yang terhormat,

Panitia Halal bi halal bersama Departemen-SMF Penyakit Dalam, Paru dan Jantung FK Unair - RSUD Dr. Soetomo mengharap kehadiran sejawat pada :

Hari : Minggu
Tanggal : 26 September 2010
Jam : 10.00 - 12.00 WIB
Tempat : Gedung Aula FK Unair, Jl. Mayjen Prof. Dr. Moestopo no. 47, Surabaya
Acara :
1. Halal Bi Halal Bersama Dept. SMF Penyakit Dalam, Paru dan Jantung
2. Perkenalan PPDS-1 baru bagian Penyakit Dalam, Paru dan Jantung
3. Ceramah dan Doa oleh Ust. M. Sholeh Drehem, LC dengan topik "Hikmah Halal bi Halal"
4. Silaturrahim / Ramah-tamah

Atas kehadirannya kami sampaikan terima kasih.

19 September 2010

CONGRATULATIONS


Segenap pengurus dan anggota Paskal mengucapkan selamat atas kelahiran
RANIA TSABITA FAHIMA
putri pertama dr. Rachfita Chandra GD-Ahmad pada 13 September 2010.
Semoga menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua.

PERIKARDITIS TUBERKULOSIS


Wiwin Is Effendi, Agus Subagjo

Perikarditis tuberkulosis (PT) adalah infeksi tuberkulosis yang terjadi pada membran perikard yang melapisi jantung. Infeksi membran selaput jantung ini mengakibatkan terbentuknya efusi perikard, yang dapat menimbulkan tamponade. Terkadang infeksi ini juga dapat menyebabkan penebalan perikard tanpa disertai efusi dan menimbulkan perikarditis konstriktif (Mayosi 2009).

Perikarditis termasuk manifestasi penyakit tuberkulosis yang sangat jarang tetapi dapat berakibat fatal jika tidak mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat (Trautner & Daroiuche 2001). Di negara berkembang, dimana tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan utama, hampir 50% dari semua kasus perikarditis disebabkan oleh karena infeksi tuberkulosis (Magula dkk, 2003). Sebaliknya, di negara maju kasus perikarditis yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosis hanya kurang dari 5% (Troughton dkk, 2004).

Di Afrika, insiden PT dikatakan meningkat akibat efek langsung dari epidemik HIV (Maher dkk, 1997). Terdapat hubungan yang kuat antara infeksi HIV dan PT di daerah endemik, dimana 40% - 75% pasien dengan efusi perikard terinfeksi HIV juga (Magula dkk, 2003). Efek infeksi pada manifestasi klinis, respon pengobatan dan hasil akhir pasien PT belum didokumentasikan dengan baik (Trautner dkk, 2001). Pada pasien PT yang juga terinfeksi HIV, akan memudahkan terjadinya penyebaran tuberkulosisnya dibandingkan dengan pasien tanpa HIV, sehingga diperkirakan akan terjadi perburukan dan perawatan yang lama (Pozniak dkk, 1994)

Meskipun didapatkan penurunan kasus tuberkulosis (TB) yang signifikan di negara-negara industri dalam rentang waktu lebih dari 100 tahun, perkiraan jumlah kasus baru di seluruh dunia meningkat sangat cepat, dari 8 juta pada 1997 menjadi 8.3 juta di tahun 2000. Diperkirakan menjadi 10.2 juta di tahun 2005. Sekitar 95 % kasus TB aktif terdapat di Afrika, Asia dan Amerika latin dan 98 % dari sekitar 2 juta penderita mati tiap tahunnya (Murray, 2004). Prevalensi TB di Indonesia tahun 2000 sekitar 2,9 juta penduduk (Tjandra, 2000) maka yang akan mengalami kasus perikarditis tuberkulosis juga akan meningkat.

Tujuan dari kepustakaan ini adalah mengingatkan kembali bahwa kasus TB masih merupakan masalah serius di Indonesia, maka secara teoritis tidak menutup kemungkinan bahwa kasus PT akan semakin banyak. Mengingat terdapat keterkaitan antara infeksi HIV/AIDS dengan Tb, maka dengan adanya peningkatan kasus HIV/AIDS di Indonesia, maka dimungkinkan bahwa kasus PT akan banyak ditemukan juga.


Naskah selengkapnya disini

AMPLATZER DUCT OCCLUDER ON ADULT PATIENT WITH PATENT DUCTUS ARTERIOSUS


Ika Krisnawati, Jatno Karjono, Mahrus A Rahman

Patent Ductus Arteriosus (PDA) merupakan kelainan jantung yang sering ditemukan dengan perkiraan sebesar 15% pada kasus penyakit jantung congenital dewasa atau sekitar 1 dari 2000 kelahiran. Kelainan ini terjadi akibat adanya kegagalan penutupan ductus arteriosus yang normalnya terjadi saat lahir. Adanya defek yang besar mengakibatkan berkurangnya usia hidup dengan tingkat mortalitas sebesar 0.5% pertahun, dan rata-rata kematian terjadi pada dekade ketiga atau keempat. Tingkat mortalitas pada usia 30 tahun sebesar 20 % dan meningkat 4% setiap tahunnya.

Direkomendasikan dilakukan penutupan PDA tidak hanya untuk kasus yang simptomatis dengan defek yang besar, tetapi dengan tujuan untuk mencegah timbulnya infective endarteritis, yang biasanya terjadi pada duktus ukuran kecil dengan perkiraan insiden 0.45% per tahun (Rekomendasi klas IIa Level of Evidence C Guideline GUCH 2008 ). Selain itu juga penutupan PDA juga bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi lain seperti hipertrofi ventrikel dengan gagal jantung kongestif, penyakit vascular paru termasuk sindroma Eisenmenger, pertumbuhan terhambat,, aneurisma dan kalsifikasi duktus (rekomendasi klas I Level of Evidence C Guideline GUCH 2008).

Tehnik penutupan melalui pembedahan merupakan tindakan yang efektif tetapi mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama akibat thorakotomi pada pasien dewasa. Perubahan degeneratif seperti kalsifikasi atau aneurisma akan mempersulit tindakan operasi dan menyebabkan penggunaan prosedur yang lebih rumit lagi seperti penggunaan total cardiopulmonary bypass dan trans-aortic patch closure. Selain itu juga dengan makin bertambahnya usia maka keluhan dan gejala yang timbul akan semakin bervariasi seperti gagal jantung, kardiomegali, hipertensi pulmonal dan aritmia. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan efek samping akibat tindakan operasi. Suatu studi melaporkan mortalitas sebesar 3,5 – 18% akibat tindakan koreksi pembedahan pada kasus GUCH dengan hipertensi pulmonal. Dan dengan semakin bertambahnya usia, resiko operasi akan diperberat dengan adanya penyakit penyerta.

Perkembangan teknologi dan peningkatan kualitas kateter, sheath, wires serta retrieval equipment dan kemajuan tehnik pencitraan noninvasif sehingga dapat mengidentifikasi variasi anatomi duktus menyebabkan kemajuan tehnik penutupan secara transkateter. Saat ini keuntungan penutupan PDA secara transkateter lebih besar bila dibandingkan dengan tindakan operasi seperti resiko tindakan yang lebih ringan, rawat inap yang lebih singkat, tingkat keberhasilan yang tinggi, tidak adanya skar serta biaya yang lebih murah. Suatu studi melaporkan bahwa insidens residual PDA pada ADO lebih rendah bila dibandingkan dengan tindakan operasi.


Naskah selengkapnya disini

07 September 2010

SELAMAT IDUL FITRI 1 SYAWAL 1431 H




Segenap pengurus dan anggota PASKAL mengucapkan
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1431 H.
Mohon maaf lahir dan batin.


KONSEP TERKINI PERIPARTUM KARDIOMIOPATI

Miftahul Afandi, Esti Hindariati

Kejadian gagal jantung selama periode peripartum pertama kali dijelaskan oleh Ritchie pada tahun 1849, tetapi kardiomiopati baru diidenfikasi sebagai penyebab pada tahun 1937 oleh Gouley et al. PPCM didefinisikan sebagai kelainan yang patogenesis belum diketahui dimana terjadi disfungsi ventrikel kiri dan keluhan serta gejala gagal jantung terjadi antara 1 bulan terakhir kehamilan sampai 5 bulan pertama setelah melahirkan, dimana wanita tersebut tanpa keluhan, tanda atau riwayat penyakit jantung sebelumnya.

Epidemiologi, gejala klinis, penatalaksanaan dan prognosis PPCM telah dikaji sampai sekarang di berbagai tempat. Patogenesis dan etiologi sampai sekarang masih kontroversi, beberapa teori diusulkan untuk berbagai mekanisme penyebab perkembangan PPCM. Pengetahuan terbaru patogenesis dasar penyakit ini adalah defektif aksi prolactin sebagai kunci dasar jalur molecular pregnancies-induced cardiomyopathy pada wanita dan tikus.

Beberapa penyebab gagal jantung pada periode peripartum antara lain infeksi, toksik, atau gangguan metabolik dan iskemik atau penyakit katup jantung. Komplikasi kehamilan lebih bulan, toksimia dan amnion atau embolisme paru juga memberi gambaran gagal jantung sehingga harus disingkirkan sebelum membuat diagnosis PPCM.


Naskah selengkapnya disini

01 September 2010

SEORANG PENDERITA DENGAN COR PULMONALE KRONIS AKIBAT SILICOSIS


Primasari Ragawanti, Jatno Karjono

Istilah Pulmonary Heart Disease (salah satunya disebut Cor Pulmonale) merujuk pada disfungsi kardia yang berasal dari perubahan struktur dan fungsi paru. Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel kanan dengan bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru akan mempengaruhi secara selektif jantung kanan.
1,2,3,5

Suatu studi terpercaya mengestimasi prevalensi kor pulmonale adalah jarang namun tersebar dimana-mana dan dinyatakan bahwa usia dibawah 50 tahun, kor pulmonale menempati urutan ketiga kelainan jantung paling sering setelah penyakit jantung koroner dan hipertensi. 40

Patofisiologi akhir yang umum yang menyebabkan kor pulmonale kronis adalah peningkatan kronis dari resistensi aliran darah melalui sirkulasi paru dan mengarah pada hipertensi arteri pulmonal (Pulmonary Arterial Hypertension/PAH). Meski kelainan paru yang menyebabkan kor pulmonale dapat diklasifikasikan dalam berbagai macam, namun pembahasan kita adalah klasifikasi berdasarkan mekanisme yang meningkatkan resistensi vaskuler paru (Pulmonary Vascular Resistance). 1,3,5,40

Silikosis adalah penyakit paru kerja yang disebabkan oleh inhalasi debu yang mengandung silika dioksida atau silika dalam bentuk kristalin. Angka prevalensinya potensial meningkat di seluruh dunia karena silika sangat murah dan merupakan komponen yang serba guna sehingga banyak digunakan di sektor industri dengan jutaan pekerja berkecimpung di dalamnya. Tempat kerja dengan resiko terkena silikosis antara lain : pertambangan emas, besi, timah, granit, pasir, batu tulis, pengecoran logam, pengasah dengan gerinda, sandblasting, pabrik semen, keramik, dan gelas 12,13,14,15,16

Meskipun paparan debu silika telah dihentikan tetapi proses silikosis tetap berlanjut bahkan dapat menimbulkan komplikasi. Hal ini disebabkan karena debu silika tidak dapat dicerna atau dieliminir. 17,18 Komplikasi yang sering terjadi antara lain infeksi oportunistik tuberkulosis, pneumotorak, rhematoid dan kor pulmonale.11,14,19,20

Laporan kasus ini akan membahas mengenai seorang penderita laki-laki usia 36 tahun yang didiagnosa sebagai silikosis terakselerasi yang mengalami komplikasi kor pulmonale.

Naskah selengkapnya disini

Media Edukasi dan Silaturahmi Alumni & PPDS Kardiologi Unair

Non Scholae Sad Vitae

Google
WWW Blog ini