17 Agustus 2011

GANGGUAN DURASI TIDUR DAN PENYAKIT KARDIOVASKULAR


Sanggap Indra Sitompul, Iswanto Pratanu

Kehilangan waktu tidur merupakan cermin perubahan gaya hidup pada masyarakat modern (Eguchi K et al, 2008), dengan bukti yang menunjukkan bahwa waktu tidur kita rata-rata hanya 6.9 jam setiap malam pada hari kerja (National Sleep Foundation, 2011), dan terjadi pengurangan waktu tidur antara 1.3 sampai 1.5 jam dibandingkan beberapa tahun sebelumnya (Bonnet MH, Arand DL, 1995). Fakta lain menyebutkan durasi tidur yang tidak adekuat ini meningkat pada hari kerja (42 persen) dan berkurang menjadi setengahnya pada saat hari libur (National Sleep Foundation, 2011).

Durasi tidur yang adekuat merupakan hal penting karena tidur yang terpotong (fragmentasi) maupun kehilangan waktu tidur berkaitan dengan berbagai gangguan kesehatan dan dapat mengurangi kualitas hidup (Groeger JA et al, 2004; Eguchi K et al, 2008). Bahkan resiko penyakit kardiovaskular dapat meningkat 4.4 kali pada orang-orang berdurasi tidur pendek yang tidak mengalami penurunan tekanan darah sistole di malam hari (Eguchi K et al, 2008).

Selain gangguan durasi tidur pendek terdapat juga durasi tidur panjang, keduanya dapat meningkatkan insiden diabetes (Yaggi et al, 2006), hipertensi (Gangswich et al, 2006), obesitas, dan penyakit jantung koroner, yang mana mekanisme hubungan ini tidak sepenuhnya dipahami (Cappuccio FP et al, 2011).

Durasi tidur 8 jam umumnya diterima sebagai waktu untuk tidur malam yang baik dan menyehatkan (Journal Watch, 2009). Kondisi di negara barat, seperti di Inggris dan Amerika menunjukkan bahwa tidur pendek berhubungan dengan status tidak menikah, berat badan berlebih, kondisi kesehatan yang tidak baik, sedangkan waktu tidur panjang menggambarkan kejadian morbiditas (Stranges S et al, 2008), penelitian di Asia seperti di Singapura kondisi tidur pendek dan panjang berhubungan antara lain dengan usia lebih tua, perokok, peminum alkohol, dan Index Massa Tubuh (IMT) yang tinggi, makanan rendah buah dan sayur (Shankar A et al, 2008).

Mengingat besarnya peranan durasi tidur terhadap perkembangan penyakit kardiovaskular maka berikut ini kami akan menjelaskan fisiologi tidur, mekanisme dan bukti hubungannya dengan penyakit kardiovaskular yang berdasarkan pada berbagai literatur.

Naskah lengkap disini


CORONARY STENT Past, Present and Future


Gusti Rifansyah, R. Mohammad Yogiarto

Setelah abad ke 20, sebagian besar negara-negara di dunia mengalami pergeseran struktur sosial, ekonomi, politik, pendidikan serta lingkungan. Hal ini berakibat pada terjadinya perubahan pola masyarakat yang pada awalnya berupa masyarakat terpencil dan agraris menjadi masyarakat urban dan industri.

Transisi sosial dan ekonomi ini lebih lanjut berdampak pada terjadinya perubahan demografi masyarakat, struktur industri, tingkat pendapatan, pola pembelanjaan, tingkat pendidikan, struktur keluarga, pola makan, serta aktifitas fisik. Perubahan-perubahan ini telah meningkatkan secara bermakna faktor-faktor risiko serta angka kesakitan akibat Penyakit Kardiovaskuler (PKV)

Di tahun 2000, sekitar 16,6 juta atau 1/3 dari total  kasus kematian di seluruh dunia disebabkan oleh karena PKV dimana Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan stroke merupakan penyumbang terbesar (7,2 juta dan 5,5 juta) dan 3,9 juta jiwa diakibatkan oleh hipertensi dan penyakit jantung lainnya. Sekitar 28% kasus kematian pada laki-laki dan 34% kasus kematian pada wanita berkaitan dengan pula dengan PKV. Perkiraan 10 penyebab utama kematian pada tahun 2020 dapat dilihat dari tabel 1

Naskah lengkap disini

Arti Klinis Skor Kalsium pada Penyakit Jantung Koroner


Sanggap Indra Sitompul, Mohammad Soetomo

Kalsifikasi arteri koroner (Coronary Artery Calcium=CAC) sejak lama telah diketahui berhubungan dengan aterosklerosis maupun perkembangan plak aterosklerosis (Schemermund A, 2001; R.M. Gowda, 2004; Paolo, 2006).

Tehnologi pencitraan non invasif Multidetector Computer Tomography (MDCT) scanner dapat memberikan deteksi yang akurat, penjumlahan kalsifikasi kardiovaskular, dan juga kemampuan memonitor efektifitas terapi awal untuk mengurangi perkembangan penyakit. Baru-baru ini diperlihatkan bahwa progresi kalsifikasi miokardial menunjukkan petanda resiko infark miokard dan kematian akibat jantung pada pasien-pasien yang diobati maupun tidak. Sehingga menjadi pertimbangan yang menarik dalam penggunaan modalitas non infasif pencitraan CT untuk mengikuti perkembangan kalsifikasi kardiovaskular pada berbagai keadaan pasien (Paolo, 2006).

Schoereder dkk menyebutkan bahwa penggunaan MSCT dapat membedakan konfigurasi lesi koroner dengan jelas, sehingga metode ini dapat menjadi alat diagnostik penting untuk stratifikasi resiko (Schoereder, 2001).

Penelitian lain menunjukkan bahwa total area kalsifikasi arteri koroner berkorelasi tinggi dengan total area plak arteri koroner. Namun terdapat juga plak yang tidak berhubungan dengan kalsium koroner, sehingga hasil ini menunjukkan hampir semua ukuran plak koroner berhubungan dengan kalsium koroner tetapi bagi plak yang lebih kecil, kalsium tersebut tidak ada atau tidak terdeteksi (Rumberger, 1995).

Berikut ini kami akan menjelaskan peranan (implikasi dan validitas) pemeriksaan metode non invasif nilai skor kalsium terhadap penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan evidence based dari beberapa literatur.

Naskah lengkap disini

Media Edukasi dan Silaturahmi Alumni & PPDS Kardiologi Unair

Non Scholae Sad Vitae

Google
WWW Blog ini