11 Agustus 2008

PHARMACOECONOMICS SURVEY OF AMLODIPIN AND NIFEDIPIN UTILITY IN THE TREATMENT OF HYPERTENSION IN CARDIOLOGY OUTPATIENT CLINIC DR.SOETOMO GENERAL HOSPITAL

Suryono, Nugroho, Djoko Soemantri

Cost besar menghasilkan outcome besar hal yang wajar, cost besar menghasilkan outcome kecil atau sama dengan cost yang lebih rendah tidak efektif dan tidak efisien. Seorang dokter harus mampu memilih obat dengan cost terrendah menghasilkan outcome yang lebih besar atau minimal sama dengan obat yang costnya lebih besar. Perlu disadari tidak semua obat murah mempunyai efektivitas biaya (efisien) lebih besar begitu juga sebaliknya, dengan mempertimbangakan outcome yang dicapai, biaya evaluasi yang diperlukan terkadang obat mahal lebih efisien. Untuk menentukan pilihan obat antihipertensi yang lebih efisien Evaluasi ekonomi klinik atau yang lebih dikenal Farmakoekonomi dapat membantu dalam mengambil keputusan. Farmakoekonomi secara ringkas dapat didefinisikan sebagai penelitian untuk mengidentifikasi, mengukur, dan membandingkan biaya dengan outcome pengobatan.

Banyaknya golongan obat antihipertensi dengan harga yang beragam selain pertimbangan indikasi yang tepat pertimbangan Farmakoekonomi tidak boleh dikesampingkan, betapapun tinggi tingkat kepatuhan minum obat penderita tanpa didukung daya beli yang memadai keajegkan pengobatan tidak akan terjamin. Atas dasar data diatas penelitian Farmakoekonomi ini akan membandingkan efektivitas biaya penggunaan Calsium Channel Blocker (CCB) Amlodipin (tidak tersedia di Askes) dan Nifedipin (tersedia di Askes/Askes maskin) pada terapi hipertensi di Poli Jantung RSU Dr. Soetomo Surabaya. Untuk menilai hasil terapi (outcome) digunakan kriteria JNC VII.

Naskah lengkap disini

PENYAKIT JANTUNG PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK

1574R-018797B Sean W. Murphy dan Patrick S. Parfrey*

The Kidney and Urinary Tract Disease,Ed. Robert Schrier, 2007 pp. 2482-2501

Diterjemahkan oleh Yusra Pintaningrum

Penyakit ginjal terminal (PGT) dan penyakit kardiovaskuler saling berkaitan sejak awal dialisis kronik. Clyde Shields, pasien pertama yang menjalani dialisis jangka panjang, meninggal oleh karena infark miokard pada tahun 1970, pada usia 50 tahun, yaitu 11 tahun setelah hemodialisis (HD) pertama (1). Angka statistik bertambah sejak dibuktikan adanya efek penyakit kardiovaskuler pada pasien ginjal. Setengah kematian pasien dengan PGT diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler, hal tersebut hampir sama terjadi di seluruh dunia (2-10). Insiden infark miokard atau angina pertahun yang masuk rumah sakit (MRS) pada pasien yang menjalani HD sebanyak 8 %, dan pasien gagal jantung yang harus MRS atau diterapi dengan ultrafiltrasi sebanyak 10% (11). Diantara pasien yang memulai dialisis rumatan, sekitar 80% menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri (Left Ventricle Hypertrophy/LVH) atau kelainan disfungsi sistolik yang merupakan prediksi gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure/CHF), penyakit jantung iskemi (Ischemic Heart Disease/IHD), dan kematian (12). Prevalensi yang tinggi pada abnormalitas ventrikel kiri menunjukkan bahwa pasien sebaiknya menjalani transplantasi ginjal (13). Lebih jauh lagi, angka kematian kardiovaskuler pada pasien yang menjalani dialisis lebih tinggi dari populasi umum pada semua kelompok usia, terutama kelompok usia yang lebih muda (Gambar 95-1). Pada beberapa tahun terakhir telah ada kewaspadaan bahwa penyakit ginjal kronis (PGK) pada semua stadium – tidak hanya dialisis – telah memberikan efek prognosis pasien pada penyakit jantung (14-20).

Naskah lengkap disini

STENTING ARTERI KAROTIS PADA PENDERITA DENGAN TRANSIENT ISCHEMIC ATTACK

Suryono, Jeffrey D. Adipranoto

a_before Stenosis arteri karotis sampai saat ini masih menjadi problem kesehatan masyarakat, hal ini terkait dengan meningkatnya resiko kejadian stroke iskemik maupun stroke emboli. Suatu laporan menyebutkan bahwa insident stroke iskemik meningkat sejalan dengan meningkatnya usia, yakni 33 % sebelum usia 45 tahun dan 80% setelah 50 tahun, sedangkan penyebab dari keseluruhan kasus tersebut 20% sampai dengan 30% akibat stenosis arteri karotis.1

Stenosis arteri karotis dapat ditemukan secara kebetulan, pada pasien ini biasanya asymtomatis dan ditemukan bersama dengan penyakit vaskuler lain, misalnya stenosis pada : arteri koroner, extremitas bawah dan arteri renalis. Pada pasien symtomatis presentasi klinisnya dapat berupa Transient Ischemic Attacks (TIA) atau stroke iskemik berat akibat oklusi subtotal / oklusi total pada satu dan atau kedua arteri karotis.2

Penanganan stenosis arteri karotis meliputi pengobatan Medikamentosa, pembedahan dengan Carotid Endarterectomy (CEA) dan Angioplasty. Pengobatan Medikamentosa belum terbukti menghilangkan stenosis pada arteri karotis, pengobatan ini bertujuan mengobati faktor resiko stenosis dan memperlambat progresivitas plak namun efficacy terhadap Cerebral Ischemic Events masih menjadi perdebatan. CEA tidak dapat dilakukan pada semua pasien misalnya , usia lebih dari 79 tahun, penderita dengan penyakit jantung / ginjal / hepar berat, kelainan katup / disritmia yang berisiko terjadi emboli, pasien dengan angina / infark miokard dalam 6 bulan, pasien yang menjalani oprasi besar kurang dari satu bulan dan pasien yang menolak tindakan oprasi. Pada kondisi ini Carotid Angioplasty lebih disukai sebagai pilihan terapi oleh karena lebih sederhana, seleksi pasien lebih luas dan kurang invasive.3 Berikut ini akan dilaporkan kasus PTA-Stenting arteri karotis pada penderita yang mengalami TIA dan mengidap penyakit jantung koroner.

Naskah lengkap disini

Media Edukasi dan Silaturahmi Alumni & PPDS Kardiologi Unair

Non Scholae Sad Vitae

Google
WWW Blog ini