Umira, Diah Prihatini
Hipertensi pada kehamilan adalah masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Prevalensi hipertensi berkisar 6-10% dari seluruh kehamilan. Ada beberapa penyebab hipertensi pada kehamilan, dan yang paling penting adalah preeklamsia, karena preeklampsia menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi baik pada maternal maupun pada janin. Prevalensi preeklampsia di seluruh dunia berkisar 1-3% dari seluruh kehamilan.[1]
Preeklamsia adalah kondisi kehamilan yang spesifik, dimana hipertensi muncul setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu dengan disertai proteinuria lebih dari 300 mg per 24 jam atau persistent positif 1 pada pemeriksaan urine acak dengan menggunakan urine dipstick, tanpa adanya infeksi saluran kemih. Jika penderita dengan hipertensi sebelumnya dan kemudian didapatkan proteinuria maka disebut superimposed preeclampsia.[2]
Sampai saat ini penyebab preeklamsia belum diketahui dengan pasti, diduga timbul akibat supply darah yang abnormal pada placenta, mengakibatkan perfusi placenta jelek dan terjadi disfungsi endotel yang luas. Akibat disfungsi endotel yang luas terjadi disfungsi multiorgan, seperti hipertensi, proteinuria, edema cerebri, nyeri kepala occipital, kejang, peningkatan enzim hemolisis oleh hati dan kadar platelet yang rendah.[3]
Patofisisologi hipertensi pada preeklampsia disebabkan oleh iskemia atau hipoksia placenta. Akibat iskemia placenta, placenta mengeluarkan tyrosine kinase1, angiotensin II type 1 receptor autoantibody, dan sitokin - sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), yang mengakibatkan disfungsi yang luas maternal vascular endothelium. Manifestasi disfungsi ini meningkatkan produksi endothelin, reactive oxygen species (ROS), meningkatkan sensitifitas pembuluh darah terhadap angiotensin II dan penurunan produksi vasodilator yaitu nitric oxide dan prostacyclin. Kesemuanya ini pada akhirnya menimbulkan hipertensi melalui gangguan renal pressure natriuresis dan peningkatan total peripheral resistance.[4]
Hipertensi pada preeklamsia diyakini akibat kurangnya perfusi darah ke jaringan placenta. Sehingga penurunan tekanan darah dianggap tidak mampu memperbaiki proses patofisiologi primernya. Selama ini obat antihipertensi terbukti tidak pernah menyembuhkan preeklamsia. Obat antihipertensi ini hanya berfungsi untuk mencegah komplikasi kardiovaskuler dan cerebrovaskuler akibat tekanan darah tinggi yang mendadak timbul pada penderita wanita muda yang sebelumnya tekanan darahnya normal.[3]
Berikut ini dibahas kasus wanita hamil bayi kembar aterm dengan preeklampsia berat (PEB) fokus pada penatalaksanaan hipertensinya.
Naskah selengkapnya disini