Stenosis yang signifikan pada Left Main Coronary Artery (LMCA) pertama kali dideskripsikan oleh Herrick (1912) , prevalensinya sekitar 2,5% - 10% pada penderita penyakit arteri koroner, dan sekitar 4%-6% ditemukan pada penderita yang sedang dilakukan angiografi koroner. Kondisi ini merupakan resiko tinggi , dengan angka mortalitas 5 tahun sebesar 42% jika hanya diberikan pengobatan medikamentosa. Angka morbiditas dan mortalitas ini tergantung dari beberapa faktor, termasuk beratnya stenosis LMCA, serta kondisi dari arteri koroner lainnya, yaitu Right Coronary Artery (RCA), left dominance, dan fungsi ventrikel kiri (LV) 1,2
Guideline terbaru merekomendasikan Coronary artery Bypass Grafting (CABG) sebagai terapi standar pada penderita stenosis LMCA. Karena selain mempunyai angka harapan hidup yang lebih bagus, beberapa penderita stenosis LMCA juga mempunyai multi-vessel coronary artery disease dimana revaskularisasi koroner dengan CABG mempunyai beberapa keuntungan.2,3,4
Meskipun teknik CABG yang semakin berkembang, iskemia miokard paska operasi masih merupakan problem yang penting, terjadi pada 3%-5% penderita post CABG. Oklusi graft atau trombosis merupakan penyebab tersering terjadinya iskemia ini, dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan. Dilaporkan rata-rata angka mortalitas graft failure sekitar 14,5%- 21,7 %. Dimana arteri radialis graft mempunyai resiko tinggi terjadinya oklusi maupun severe flow limiting disease. Pemeriksaan angiografi koroner berguna untuk menegakkan diagnosa, mengetahui penyebab dari graft failure, serta menentukan tindakan selanjutnya. Penderita dengan graft failure akibat proses patologis dapat dilakukan PCI pada native coronary artery dengan aman
Naskah lengkap disini
14 Desember 2009
MANAGEMENT OF SEVERE LEFT MAIN CORONARY ARTERY STENOSIS WITH BYPASS GRAFT FAILURE
PERANAN LATIHAN FISIK PADA REHABILITASI GAGAL JANTUNG KRONIK
Gagal jantung tetap menjadi masalah utama kesehatan pada masa ini. Adalah sindroma klinik kompleks akibat kelainan struktur dan fungsi jantung, dan merupakan perjalanan penyakit jantung yang terakhir dimana terbanyak oleh karena penyakit jantung iskemik dan hipertensi. Insidensnya meningkat di seluruh dunia, di Amerika Serikat terdapat 5.000.000 penderita gagal jantung, dan 15.000.000 penderita di seluruh dunia, serta diperkirakan 2% dari total populasi di negara berkembang adalah penderita gagal jantung. Insidensnya semakin tinggi dengan meningkatnya usia, pada usia kurang dari 65 tahun didapatkan perbandingan laki-laki : wanita sekitar 1 : 0,4. 1,2,3
Selain masalah insidensi, hospitalisasi, mortalitas, dan biaya sosioekonomi, perihal kualitas hidup dan kesehatan psikologis penderita gagal jantung juga penting. Belum ada obat untuk menyembuhkan gagal jantung, tatalaksana pada gagal jantung utamanya bertujuan untuk memperpanjang hidup dan meningkatkakan kualitas hidup dalam arti perbaikan gejala. Kualitas hidup penderita berkaitan dengan derajat kapasitas fungsionalnya, dimana keterbatasan kapasitas fungsional merupakan manifestasi kardinal gagal jantung, dan derajatnya bervariasi tergantung pada beratnya penyakit. Derajat kapasitas fungsional terbukti turut mempengaruhi laju kelangsungan hidup dan kualitas hidup penderita.2,4,5
Biasanya penderita gagal jantung mengeluh adanya keterbatasan dalam aktifitas fisik, tetapi terkadang saran dokter kurang sesuai untuk penderita ini, dimana penderita tidak diperbolehan melakukan aktifitas sehingga terjadi hal sebaliknya, terjadi peningkatan gejala gagal jantung. Pendekatan konseling terhadap penderita gagal jantung semakin berubah dewasa ini, beberapa ahli merekomendasikan penderita diperbolehkan melakukan aktifitas fisik sehari-hari. Data tersebut ditunjang dengan beberapa penelitian yang melaporkan bahwa latihan fisik pada penderita gagal jantung dapat memperbaiki gejala, toleransi latihan, kualitas hidup, dan mempunyai angka keberhasilan outcome klinik
Naskah lengkap disini
EKHOKARDIOGRAFI PADA KARDIOMIOPATI DILATASI:Applications, Utility and New Horizons
Kardiomiopati dilatasi atau Dilated Cardiomyopathy (DCM) merupakan kasus kardiomiopati yang terbanyak dibanding tipe kardomiopati lainnya, dengan karakteristik meningkatnya massa dan volume dari miokard, sehingga dinding miokard ini menjadi tipis dan tegang yang mengakibatkan terganggunya fungsi dari ventrikel kiri (LV). Kardiomiopati ini merupakan tahap evolusi terakhir dari beberapa penyakit jantung, dan merupakan sindroma klinis yang tersering dari gagal jantung. Kondisi ini merupakan problem klinis yang penting karena mempunyai angka morbiditas, mortalitas, serta rehospitalisasi yang tinggi. 1,2,3
Di Amerika Serikat didapatkan 2 juta kasus gagal jantung kongestif dengan menurunnya ejection fraction dari ventrikel kiri, dengan presentasi klinis DCM. Dilaporkan insidens penyakit ini sekitar 5-8 kasus/100.000 populasi/tahun, dan kecenderungannya akan semakin bertambah, bisa terjadi pada semua usia, tetapi yang tersering terjadi pada laki-laki usia 20-50 tahun. Angka mortalitasnya sekitar 50% dalam 5 tahun, dan 19% diantaranya mengalami hospitalisasi dalam 1 tahun sejak didiagnosa sebagai kardomiopati dilatasi.1,2,3
Penyebab terjadinya kardiomiopati dilatasi sangat beragam, di Amerika serikat, penyebab tersering adalah sekunder akibat penyakit jantung koroner, hipertensi dan penyakit jantung katup. Sedangkan faktor keturunan (familial) diidentifikasi sekitar 25-35%. Penyebab yang lain adalah alcohol-induced cardiomyopathy, peripartum cardiomyopathy, hemokromatosis, anemia kronis, non-compaction cardiomyopathy, adriamycin toxicity, sarkoidosis and miokarditis akibat virus. Jika kelainan patologi ini tidak teridentifikasi, maka disebut sebadai idiopathic dilated cardiomyopathy (iDCM)
Naskah lengkap disini
COMPREHENSIVE HEMODYNAMIC SUPPORT:A Bridge to Primary Angioplasty In Acute Myocardial Infarction with Cardiogenic Shock
Syok kardiogenik adalah kondisi dimana terjadi perfusi jaringan yang tidak adekuat akibat adanya disfungsi miokard, terbanyak disebabkan oleh infark miokard akut (IMA). Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian tersering pada penderita IMA, insiden ini tetap konstan selama 25 tahun. Pada beberapa penelitian, insidens penderita dengan IMA disertai syok kardiogenik mencapai 8,6%, sedangkan angka mortalitas penderita ini berkisar 50-80%.1,2,3,4,5
Syok kardiogenik terbanyak disebabkan oleh infark miokard anterior (55 %), kemudian inferior (46 %), posterior (21 %) dan infark multiple (50%) . Pada penderita dengan infark inferior, sekitar 30-50% terjadi infark ventrikel kanan, dan mempunyai presentasi klinik yang signifikan pada 10% penderita. Penderita dengan infark RV ini mempunyai resiko tinggi untuk terjadi syok kardiogenik, total AV blok, ruptur free wall dari ventrikel kanan, tamponade jantung, emboli paru, takikardia atrial dan supraventrikular serta atrial fibrilasi. Angka kematian infark inferior yang disertai dengan infark RV sebesar 25-30%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan infark inferior tanpa disertai RV, sekitar 6%.1,4,6,8,9,10 Ada perbedaan syok kardiogenik akibat infark RV maupun LV, perbedaan ini terlihat dari patofisiologi, natural history dan manajemennya.
Naskah lengkap disini
AORTIC VALVE REPAIR: Intervensi bedah pada penderita Aorta Stenosis Valvular
Aorta Stenosis (AS) pada anak-anak merupakan kelainan kongenital di daerah left ventricular outflow tract (LVOT) akibat adanya abnormalitas di atas katup aorta (supra valvular), setinggi katup aorta (aortic valve), dan setelah katup aorta (sub valvular). Kelainan ini dapat menyebabkan obstruksi aliran darah dari left ventricle (LV) menuju sirkulasi sistemik, baik itu dari derajat ringan sampai berat .1,2,3,4
Insidens AS kongenital terdapat sekitar lebih dari 10% dari seluruh penyakit jantung kongenital, dimana terbanyak adalah valvular stenosis (71%), kemudian subvalvular stenosis (23%), dan supravalvular stenosis (6%).4 Dilaporkan kejadian AS valvular berkisar antara 0,04-0,38 / 1000 kelahiran hidup. Presentasi ini terbanyak pada anak laki-laki, dengan perbandingan laki-laki : perempuan sekitar 4:1.1,2,3 Penyebab tersering AS valvular adalah bikuspid, meskipun pada beberapa penderita diantaranya yang mempunyai trikuspid. Dengan bertambahnya usia kelainan ini menyebabkan kondisi pressure overload pada LV, sehingga mengakibatkan hipertrofi LV dan akan menyebabkan gagal jantung. 1,2,3,4
Angka kematian tertinggi pada penderita dengan derajat stenosis berat maupun kritikal, biasanya pada usia satu tahun pertama, terutama pada periode neonatal. Angka kematian ini lebih tinggi jika didapatkan kelainan kongenital yang bersamaan (sekitar 20% penderita), misalnya patent ductus arteriosus (PDA), coarctation of the aorta, ventricular septal defect, abnormalitas katup mitral, dan left ventricular hypoplasia. 1,2,4 Pada penderita AS yang tidak terdeteksi dapat menyebabkan kematian mendadak, insidens ini terjadi sekitar 1% dari semua penyebab kematian mendadak pada penderita anak-anak dan dewasa muda
Naskah lengkap disini
ATRIAL FLUTTER: Mechanisms, Clinical Features and Current Management
Atrial flutter (AFL) adalah takiaritmia atrial yang sering terjadi, kedua terbanyak setelah atrial fibrilasi. Meskipun aritmia ini diketahui sejak tahun 1911 oleh Jolly dan Ritchie, mekanismenya sangat sedikit diketahui, dan diagnosis serta manajemen atrial flutter telah berubah sedikit demi sedikit selama beberapa tahun. Atrial flutter terjadi pada sekitar 88 kasus pada 100.000 penderita baru setiap tahunnya, di Amerika Serikat didapatkan 200.000 penderita dengan atrial flutter setiap tahun. Pada beberapa review ECG secara serial di rumahsakit, dilaporkan insidens atrial flutter 1 diantara 238 penderita dan kecenderungan meningkat menjadi 1 diantara 81 penderita, tersering pada laki-laki dengan perbandingan laki-laki : wanita sebanyak 4,7:1. 1,2
Awalnya mekanisme atrial flutter diduga berupa single focus firing rapidly atau beberapa bentuk reentry. Kemudian dengan berkembangnya teknik endocardial mapping dapat memperjelas mekanisme elektrofisiologi aritmia ini . Puech dkk (1970) melaporkan siklus atrial flutter merupakan aktivasi menyeluruh dalam atrium kanan. Hal ini ditunjang oleh penelitian Waldo dkk (1977) yang melaporkan adanya mekanisme reentry pada area atrium yang besar. Atrial flutter didiagnosis melalui elektrokardiogram (EKG), Lewis (1913) melaporkan gambaran klasik EKG adanya sawtooth pattern dengan defleksi negatif gelombang atrial (gelombang P) yang terlihat pada lead II dan III, dengan kecepatan atrial 240-400 x/m.3,4,5,6,7
Pada umumnya atrial flutter adalah paroksismal, dan sangat bervariasi dalam durasinya, bisa dalam hitungan jam sampai hari. Jarang terjadi atrial flutter yang persisten (stabil dan kronis), karena biasanya berubah menjadi irama sinus atau atrial fibrillasi baik secara spontan maupun dengan medikamentosa. Aritmia ini dapat terjadi pada kondisi struktur atrium yang normal maupun abnormal. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan atrial flutter adalah penyakit jantung katup mitral maupun trikuspid, thyrotoxicosis, paska repair penyakit jantung congenital, serta cronic obstructive pulmonary disease (COPD). Atrial flutter sering berhubungan dengan atrial fibrillasi, dapat terjadi secara bersama pada satu penderita, dan iramanya bisa berubah-ubah antara flutter dan fibrillasi.
Naskah lengkap disini
GAMBARAN EKHOKARDIOGRAFI PADA HIPERTENSI SISTEMIK
Fadillah Maricar, Budi Susetyo Juwono
Hipertensi sistemik ( hipertensi ) merupakan salah satu penyakit terbanyak yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas di dunia.5,15
Menurut National Ambulatory Care Survey pada tahun 1997 didapatkan sekitar lebih dari 100 juta orang di United State yang menderita hipertensi. Dan diperkirakan akan menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia yang penting pada tahun 2020.5,15
Hipertensi mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas angka kejadian kardiovaskuler. Data penelitian menunjukkan bahwa angka kematian penderita dengan hipertensi cukup tinggi, terkait dengan penyakit jantung koroner, stroke dan gagal ginjal sebagai komplikasinya.5,10,15
Walaupun prevalensinya yang cukup tinggi dan ancaman bahaya komplikasinya, terapi hipertensi sebagian besar masih cenderung inadekuat. Hal ini disebabkan oleh perjalanan klinis penyakit yang umumnya asimtomatik pada 15 sampai 20 tahun pertama. Data dari Framingham Study menunjukkan bahwa mortalitas akibat kejadian kardiovaskular meningkat tajam dengan adanya hipertrofi pada jantung akibat hipertensi. Dan hal ini terlihat dalam jumlah yang kecil dengan menggunakan elektokardiografi maupun foto thorax. Ekokardiografi dalam hal ini memegang peranan penting, karena dapat menilai anatomi dan fungsi jantung sehingga mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi dalam mendiagnosis hipertrofi jantung
Naskah lengkap disini