03 Agustus 2008

APLIKASI KLINIS EKOKARDIOGRAFI STRES DOBUTAMIN

Suryono, Achmad Lefi

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia dan penyebab utama perawatan di rumah sakit. Penyakit jantung koroner (PJK) menempati hampir 70 % penyakit kardiovaskuler. PJK disebabkan karena penyempitan/stenosis pada pembuluh darah koroner dengan presentasi klinis berupa iskemik miokard.

Dalam rangka menurunkan angka mortalitas akibat PJK berbagai teknologi telah dikembangkan baik invasive maupun noninvasive guna mendeteksi adanya iskemik miokard akibat stenosis koroner.1

Ekokardiografi merupakan salah satu sarana diagnostik noninvasive yang dapat mengetahui adanya iskemik miokard baik dalam keadaan istirahat maupun aktifitas fisik. Normal resting ekokardiografi tidak menyingkirkan adanya iskemik miokard, hal ini disebabkan karena beberapa kemungkinan : pertama, stenosis ringan yang belum mencetuskan iskemik saat istirahat. Kedua, stenosis berat namun ditopang dengan kolateral yang memadai atau pasokan oksigen masih mencukupi kebutuhan miokard saat istirahat. Untuk memastikan adanya iskemik miokard dilakukan stres pada jantung sehingga kebutuhan oksigen miokard meningkat atau pasokan oksigen berkurang, uji ini disebut stress echocardiography (SE)2

SE didasarkan pada konsep timbulya atau memburuknya kontraktilitas miokard regional akibat iskemik yang terdeteksi pada analisa gerakan dinding jantung. Ada dua kelompok SE yaitu ekokardiografi stres fisik (exercise stress echo) dan ekokardiografi stres farmakologi (pharmacology stress echo)2,3.

Pada Tinjauan Pustaka ini akan membahas aplikasi klinis Ekokardiografi stress dobutamin atau Dobutamine stress echocardiograppy (DSE) yang merupakan salah satu contoh dari Pharmacology stress echo.

Naskah lengkap disini

LESI BIFURKASIO : DEFINISI,KLASIFIKASI DAN INTERVENSI KORONER PERKUTAN

S u r y o n o, Iwan N Boestan

Percutaneous transluminal ballon coronary angioplasty (PTCA) pada lesi bifurkasio(LB) sampai saat ini masih merupakan problem yang dihadapi oleh intervensionis kardiologi. Hal ini terkait dengan tingkat keberhasilan yang rendah, sering terjadi komplikasi serta tingginya insident restenosis pada koroner yang telah dilakukan intervensi.1 Dari suatu laporan disebutkan bahwa Lesi bifurkasio mencakup 15-20 % dari keseluruan tindakan intervensi. Sebagian besar lesi ini ditemukan pada left anterior descending-diagonal selanjutnya circumlex-marginal dan terakhir left main 1,2,3,4

Tindakan PTCA dan memilih teknik intervensi pada LB merupakan pekerjaan yang menantang sehingga memerlukan kejelihan dan kecermatan seorang operator. Beberapa era telah dilalui, berbagai klasifikasi dan teknik telah dikembangkan untuk memperoleh hasil yang maksimal.5

Pada tahun 1980 ketika ballon angioplasty menjadi standar pada prosedur percutaneous koroner, penanganan lesi bifurkasio tetap disadari sebagai tindakan beresiko tinggi terjadi komplikasi iskemik akut (misalnya ; trombosis pada pembuluh darah utama(PU) atau pergeseran plaque ke pembuluh darah cabang(PC) ) dan restenosis. Menghadapi problem tersebut intervensionis kardiologi mengembangkan teknis kissing ballon untuk mengurangi kemungkinan pergeseran plaque ke PC dan meningkatkan outcome terapi. Kendatipun demikian resiko trombosis dan restenosis masih tinggi6,7

Naskah lengkap disini

Proteksi Mikrosirkulatori Miokard Distal Koroner selama Angioplasti Primer pada Infark Miokard Akut Inferior

Hypertension2 Saskia D Handari, Yudi Her Oktaviono

Pencegahan terjadinya mikroembolisasi pada distal pembuluh darah koroner saat ini menjadi perhatian penting dalam percutaneous coronary intervention (PCI). Atheromatous dan embolisasi trombotik selama PCI pada infark miokard akut relatif sering terjadi dan memberi dampak pada mikrovaskular. Parameter yang digunakan selama ini antara lain adalah aliran Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI), perfusi miokard secara myocardial blush melalui angiografi opasitas kapiler serta resolusi segmen ST. Manifestasi klinis dari mikroembolisasi antara lain aritmia yang malignant, mikro infark yang tersebar, dan disfungsi kontraktilitas miokard.

Angioplasti primer atau primary PCI telah menunjukkan keunggulan dalam penurunan mortalitas dibanding trombolisis, utamanya karena pencapaian perfusi epikardium yang lebih optimal. Sehingga selain rekanalisasi epikardium yang tampak dalam parameter aliran TIMI 3 perlu kiranya diperhatikan perfusi miokard yang ternyata menunjukkan hasil suboptimal pada 20-40% penderita yang berdampak pada survival jangka panjang. Secara makroskopik diketahui embolisasi distal sebagai faktor penyebab menurunnya perfusi miokard selama angioplasti primer yang terjadi pada sekitar 16% kasus.

Beberapa faktor yang juga berperan dalam penurunan perfusi miokard setelah angioplasti primer dalam beberapa dekade terakhir. Injuri reperfusi mikrovaskular disinyalir mempunyai peranan utama dalam menyebabkan no-reflow phenomenon. Terapi farmakologis yang telah diteliti dan diterapkan untuk mengatasi injuri reperfusi yang mencetuskan iskemia tersebut, antara lain adenosine dan verapamil.

Saat ini embolisasi distal menjadi target terapeutik secara farmakologi ataupun mekanik untuk memperbaiki mikrosirkulasi selama prosedur angioplasti primer. Penghambat glikoprotein IIb/IIIa telah terdokumentasi pada beberapa penelitian meningkatkan aliran mikrovaskular, pemulihan kontraktilitas, dan menurunkan mortalitas pada primary angioplasty STEMI. Sebagai terapi mekanik telah dikenal embolic protection device terdiri dari tipe proksimal dan distal, serta thrombus extraction device.

Naskah lengkap disini

IMPLIKASI KLINIK DARI PATOFISIOLOGI PENYAKIT ARTERI KORONER

OA11X855 Saskia Dyah Handari, Iwan N Boestan

Pada beberapa dekade terakhir ini, paradigma tentang patofisiologi penyakit arteri koroner (coronary artery diseases-CAD) telah banyak mengalami perkembangan, dan hal ini mempengaruhi terjadinya perubahan konsep dan pendekatan klinis. Dalam pemahaman konvensional, misalnya, lesi aterosklerotik dianggap semata-mata disebabkan oleh adanya penumpukan kolesterol, karena itu penatalaksanaannya diutamakan pada upaya mengatasi gangguan kolesterol tersebut. Hal ini berbeda dengan pemahaman saat ini yang mempertimbangkan bahwa lesi aterosklerotik bukan hanya disebabkan oleh adanya kelainan kolesterol tetapi juga dipicu oleh faktor-faktor lain termasuk proses immunologis dan inflamasi. Anggapan konvensional yang lain bahwa plaque disruption merupakan penyebab utama terjadinya critical stenosis pada CAD. Saat ini ditunjukkan bahwa selain karena adanya kondisi solid state dari plaque disruption yang menimbukan acute coronary syndromes (ACS), terdapat faktor-faktor yang juga berperanan bagi terjadinya ACS antara lain fluid phase. Terjadinya perubahan dalam sistem koagulasi darah, termasuk gangguan keseimbangan mediator protrombotik dan antifibrinolitik, merupakan fenomena fluid phase yang ternyata juga berperanan penting bagi terjadinya proses aterosklerotik. Terdapat perubahan yang mendasar menyangkut pandangan terkini CAD menyebabkan lahirnya konsep-konsep baru dalam pendekatannya. Para ahli saat ini, misalnya, mulai merekomendasikan bahwa selain penatalaksanaan lokal terhadap culprit lesion pada CAD, perlu dilakukan upaya menstabilkan faktor-faktor lain yang berperanan bagi plaque disruption, termasuk menstabilkan fluid phase dan proses inflamasi. (Libby,2005).

Naskah lengkap disini

Presentasi Klinis Penderita Feokromositoma

Saskia D Handari, Achmad Lefi

Feokromositoma adalah tumor yang mensekresi katekolamin, dihasilkan oleh sel kromafin dimana 95% terdapat pada kelenjar adrenal. Tumor ini sering disebut “the 10% tumor” karena bersifat 10 % ganas, 10% bilateral, 10% terjadi pada anak-anak, 10% ekstra adrenal dan 10% bersifat familial (Firstgerald, 2004; Kaltsas, 2004).

Gejala yang ditimbulkan berhubungan dengan kelebihan katekolamin yang merangsang sistem persyarafan simpatis meliputi trias feokromositoma berupa berdebar, berkeringat, dan nyeri kepala yang terjadi secara paroksismal. Trias ini pada penderita hipertensi mempunyai spesifitas 93.8% dan sensitivitas 90.9% untuk diagnosis secara klinis suatu feokromositoma (Williams,1992). Manifestasi klinis selanjutnya sangat bervariasi tergantung pada sensitivitas individu terhadap katekolamin dan organ yang terlibat.

Manifestasi klinis feokromositoma pada jantung adalah nyeri dada dengan spektrum angina pektoris hingga infark miokard akut dimana tidak ditemukan aterosklerosis sebagai penyakit dasarnya. Diduga katekolamin meningkatkan konsumsi oksigen miokardium dan menyebabkan spasme koroner (Roberts,2000).

Beberapa keadaan dapat menyerupai gejala feokromositoma dengan disertai peningkatan katekolamin. Penghentian terapi klonidin secara mendadak juga memberikan gambaran klinis yang mirip feokromositoma. Gangguan serebral seperti vaskulitis serebral, perdarahan subarachnoid dan peningkatan tekanan intra kranial juga memberikan gambaran yang sama. Obat-obatan seperti amfetamin, efedrin, pseudoefedrin, isoproterenol, phenylpropanolamine dan kokain juga meningkatkan katekolamin (Williams,1992).

Naskah lengkap disini

Intervensi Perkutan Regurgitasi Pulmonal

Saskia D Handari, Iwan N Boestan

Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi kemajuan besar dalam penggunaan teknik intervensi kateterisasi pada penatalaksanaan kelainan-kelainan katup jantung misalnya percutaneous valve replacement.. Salah satu faktor pendorong kemajuan ini adalah tindakan koreksi berupa operasi jantung terbuka pada penderita-penderita kelainan jantung bawaan. Tetralogy of Fallot merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang paling sering dijumpai dengan prevalensi sekitar 10%. Saat ini banyak sekali penderita TOF yang mencapai usia dewasa terutama yang telah mengalami total koreksi berupa penutupan VSD, pelebaran RVOT dengan cara reseksi otot infundibular subpulmonal dan pelebaran stenosis pulmonal. Penutupan area yang terbuka saat melakukan pelebaran RVOT dilakukan dengan penempatan patch dari pericardnya sendiri, namun tindakan ini dapat menimbulkan sekuel di kemudian hari berupa kondisi aneurismatik, disamping itu terdapat korelasi antara ukuran patch dengan derajat keparahan dari regurgitasi pulmonal yang terjadi. (Feldman, 2006; Boenhoeffer 2000) Hal ini juga terjadi di RSUD Dr Soetomo Surabaya dimana hampir seluruh penderita paska koreksi bedah TOF terjadi sekuel regurgitasi pulmonal.

Kondisi ini menempatkan kardiolog pada posisi yang sulit saat penderita paska repair TOF menginjak usia dewasa karena kelainan regurgitasi pulmonal menimbulkan resiko untuk tindakan reoperasi. Sehingga dipikirkan tindakan non bedah untuk mengatasi sekuel ini dan sejak tahun 2000 berkembanglah berbagai penelitian intervensi perkutan dalam upaya mengatasi problem tersebut (Boenhoeffer,2000).

Naskah lengkap disini

Media Edukasi dan Silaturahmi Alumni & PPDS Kardiologi Unair

Non Scholae Sad Vitae

Google
WWW Blog ini