12 April 2011

GANGGUAN ELEKTROLIT SERUM DAN ARITMIA JANTUNG PADA POPULASI LANJUT USIA


Romi Ermawan, Dyah Prijatini

Definisi lanjut usia memiliki batasan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai contoh, negara-negara maju di Eropa maupun Amerika mengambil batasan usia diatas 65 tahun dengan pertimbangan masa pensiun. Namun menurut ketentuan WHO yang dimaksud dengan lanjut usia adalah orang yang berusia diatas 60 tahun.1,2

Menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 1998, usia harapan hidup orang Indonesia adalah 62.6 tahun untuk laki-laki dan 66.7 tahun untuk perempuan. Seiring dengan kemajuan di bidang ekonomi dan kesehatan, diprediksikan usia harapan hidup tersebut akan bertambah dan akan meningkatkan jumlah penduduk yang tergolong lanjut usia.1 Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga pada tahun 1986, penyakit terbanyak yang diderita oleh orang berusia diatas 50 tahun adalah penyakit kardiovaskuler yaitu sebesar 15.7%, diikuti oleh penyakit muskuloskeletal sebesar 14.5% dan tuberkulosis paru sebesar 13.6%.1Tidak hanya itu, menurut data WHO pada tahun 1995, penyakit kardiovaskuler juga merupakan penyebab kematian dan penyebab disabilitas tertinggi pada populasi diatas 60 tahun di seluruh dunia.2,3

Saat lanjut usia, manusia mengalami perubahan-perubahan yang bermakna pada tubuhnya baik secara anatomi maupun fisiologi. Salah satu perubahan yang sering terjadi adalah penurunan kemampuan untuk menjaga keseimbangan air, asam-basa dan elektrolit tubuhnya.4,5,6Di samping itu, insiden terjadinya aritmia jantung juga meningkat. Ini disebabkan karena pengatur irama jantung mulai menurun. Aritmia tersebut ada yang merupakan variasi normal dan ada juga yang patologis serta membutuhkan perhatian khusus. Adapun aritmia yang paling sering terjadi diantaranya adalah sinus takikardia, ekstrasistol supraventrikuler dan ekstrasistol ventrikuler.3,7

Meski berada pada kondisi fisik yang sehat, populasi usia lanjut sudah cukup rentan mengalami aritmia jantung. Resiko aritmia jantung tersebut tentunya akan semakin meningkat jika didapatkan kelainan patologis tertentu. Oleh karena itu pada tinjauan kepustakaan ini akan dibahas gangguan-gangguan elektrolit serum yang sering terjadi pada populasi lanjut usia dan aritmia-aritmia jantung yang ditimbulkan oleh gangguan tersebut.

Naskah selengkapnya disini

JADWAL JAGA APRIL 2011

MANIFESTASI KARDIOVASKULER PADA SKLERODERMA

Muhammad Muqsith, Joewono Soeroso

Skleroderma, atau sklerosis sistemik, adalah penyakit meluas yang ditandai dengan akumulasi jaringan ikat yang berlebihan; fibrosis; pembentukan autoantibodi terhadap sejumlah antigen seluler; dan perubahan degeneratif pada kulit, otot rangka, sinovium, pembuluh darah, saluran pencernaan, ginjal, paru dan jantung. Fenomena Raynaud, disfungsi esophagus dan kulit sklerotik menjadi karakter utama penyakit ini dan dapat ditemui di lebih dari 90% pasien. Dua varian utama skleroderma adalah kutaneus difus (20% kasus) dan kutaneus terbatas (80% kasus). Tipe difus yang lebih sedikit ini ditandai dengan penebalan kulit pada ekstremitas bagian distal dan proksimal serta batang tubuh dan sering melibatkan ginjal, paru dan jantung. Tipe difus adalah jenis yang progresif dan sering merusak banyak organ dalam, tidak hanya kulit saja. Pada tipe terbatas yang menonjolkan sindrom CREST (kalsinosis, fenomena Raynaud, disfungsi esofagus, sklerodaktili dan teleangiektasia), perubahan pada kulit hanya terbatas pada wajah, jari jemari dan bagian distal ekstremitas. Varian ketiga yang jarang didapatkan adalah overlap syndrome; sindrom ini terdiri dari skleroderma yang terasosiasi dengan penyakit jaringan ikat lainnya, misalnya lupus sistemik (SLE), artritis rheumatoid, polimiositis dan sindrom Sjögren (Roldan 2009, Gabrielli 2009; Roldan 2008).

Insidens skleroderma adalah 10-20 per juta populasi per tahun. Penyakit ini tidak memandang ras dan dijumpai tiga kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan pada laki-laki dan bermanifestasi pada umur 30 sampai 50 tahun. Hanya kurang dari 10% pasien yang terkena skleroderma di bawah usia 20 tahun Tipe kutaneus difus memiliki prognosis yang lebih buruk daripada tipe kutaneus terbatas. Angka kelangsungan hidup kumulatif secara menyeluruh setelah 3, 6 dan 9 tahun adalah masing-masing 86%, 76% dan 61%. Prognosis lebih buruk dijumpai pada laki-laki berumur lebih dari 50 tahun dengan keterlibatan ginjal, paru dan jantung. Penyakit paru, termasuk hipertensi pulmoner dan penyakit ginjal adalah penyebab utama kematian; peringkat selanjutnya adalah penyakit jantung, dengan angka kelangsungan hidup kumulatif hanya 20% pada 7 tahun. Adanya penyakit miokard ini, bahkan tanpa ada keterlibatan ginjal dan paru sekalipun, memiliki faktor prognostik yang buruk. Dalam sebuah analisis multivariat, keterlibatan jantung yang terdefinisi sebagai adanya gangguan konduksi bermakna, aritmia ventrikel, gagal jantung atau efusi perikard menetap berhubungan dengan peningkatan angka kematian (hazard ratio 2.8) lebih daripada ginjal (1.9) maupun paru (1.6). Penyebab utama kematian akibat jantung adalah penyakit jantung iskemik mikrovaskuler fungsional dan struktural, diikuti dengan gagal jantung refrakter, kematian tiba-tiba, dan perikarditis. Penyakit jantung skleroderma bermanifestasi terutama sebagai penyakit jantung koroner mikrovaskuler, miokarditis dan hipertensi pulmoner dengan atau tanpa cor pulmonale. Perikarditis, gangguan pada sistem konduksi dan aritmia lebih jarang didapatkan. Penyakit jantung skleroderma yang nyata secara klinis dilaporkan hanya pada kurang dari seperempat kasus; angka temuan meningkat hingga mencapai 80% pada kasus-kasus otopsi. Selain itu, penyakit miokard primer tanpa keterlibatan ginjal dan paru dapat terjadi (Roldan 2009; Gabrielli, 2009; Belloli, 2008; Allanore, 2008; Haustein, 2002).


Naskah selengkapnya disini


Media Edukasi dan Silaturahmi Alumni & PPDS Kardiologi Unair

Non Scholae Sad Vitae

Google
WWW Blog ini