10 Desember 2009

Resistensi Aspirin dan Clopidogrel

Achmad Yusri, Yudi Her Oktaviono

Aspirin dan clopidogrel telah lama dipakai sebagai tatalaksana penderita sindrom koroner akut (SKA ), stroke infark dan pasien-pasien yang menjalani PTCA. Obat-obat yang bekerja menekan agregasi platelet terbukti memberi manfaat dalam menurunkan kejadian kardiovaskuler baru maupun ulangan, angka morbiditas dan mortalitas. Beberapa studi bahkan menunjukkan manfaat yang lebih besar apabila kedua terapi ini diberikan secara bersamaan terutama pada penderita dengan sindrom koroner akut dan yang menjalani ’percutaneous coronary intervention’ ( PCI ).
Meskipun aspirin dan clopidogrel memiliki manfaat dalam menurunkan kejadian kardiovaskuler namun kejadian kardiovaskuler masih sering terjadi pada penderita yang menerima dua terapi di atas. Hal ini disebabkan karena proses agregasi dari trombosit melibatkan banyak jalur, selain jalur thromboxan A2 dan ADP yang dihambat oleh aspirin dan clopidogrel, disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi efektifitas ke dua obat tersebut. Kegagalan dari aspirin maupun clopidogrel dalam mencegah kejadian kardiovaskular inilah yang didefinisikan sebagai resistensi aspirin dan clopidogrel.
Tingginya kejadian akut dan sub akut stent thrombosis, serta SKA paska pemberian dual antiplatelet ( aspirin-clopidogrel ) telah menjadikan isu tentang resistensi aspirin dan clopidogrel menjadi suatu tantangan global bagi para klinisi dalam menciptakan strategi yang ideal dalam tata laksana PJK
Naskah lengkap disini

PENGGUNAAN NSAID DAN RISIKO KARDIOVASKULAR

Erika Arys Sandra, Bambang Herwanto

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) merupakan kelompok obat yang heterogen, ditandai oleh berbagai derajat antiinflamasi, analgesik dan antipiretik. NSAID meliputi NSAID non-selektif (nsNSAID) / NSAID tradisional (tNSAID) dan yang terbaru adalah penghambat selektif terhadap COX-2 (coxib), yang muncul untuk mengurangi efek samping gastrointestinal yang biasa ditimbulkan oleh penggunaan nsNSAID. Keduanya mempunyai kesamaan dalam hal efek terapi, yaitu sama-sama menghambat biosintesis prostaglandin (Howard 2004, Fries 2005).
NSAID banyak digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri akut, inflamasi kronik dan penyakit persendian degeneratif seperti rheumatoid arthritis dan osteoarthritis. NSAID merupakan obat yang paling banyak diresepkan secara luas di seluruh dunia dengan perkiraan 100 juta peresepan pada 1986. Selain itu, penggunaan obat tersebut tanpa menggunakan resep juga sering dijumpai. Penggunaan penghambat selektif terhadap COX-2 atau “coxib” meningkat secara dramatis sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1999 (Howard 2004, Patrignani 2008).

Naskah lengkap disini

CIRRHOTIC CARDIOMYOPATHY

Endah Tatyana Rachmawati, Esti Hindariati

Sirosis hati (SH) adalah suatu kondisi hati dengan gambaran patologi terdiri dari fibrosis yang menyebabkan perubahan arsitektur hati oleh formasi nodul-nodul regeneratif. Pemicu fibrosis dapat ditimbulkan oleh aktivasi sel-sel stellate hati, yang mengakibatkan peningkatan penumpukan kolagen dan komponen matriks ekstra sel. Hasil akhir dari perubahan ini adalah penurunan massa sel hati, fungsi hati, dan perubahan vaskuler hati. Penyebab sirosis diantaranya adalah alkoholisme, virus hepatitis B, C, hepatitis autoimun, sitomegalovirus, dll (Bacon, 2008).

Sirosis hati berhubungan dengan abnormalitas kardiovaskuler, pertama kali digambarkan oleh Kowalski dan Abelmann pada tahun 1953, yaitu adanya cardiac output basal yang meningkat, serta penurunan resistensi pembuluh darah sistemik. Penelitian selanjutnya menunjukkan adanya sirkulasi hiperdinamik yang ditandai oleh vasodilatasi perifer dan peningkatan cardiac output (Al Hamoudi, 2006). Perubahan vaskuler, tidak terbatas pada hati, namun juga terjadi pada limpa, jantung, paru, ginjal, otak, dll. Disamping hepatorenal syndrome, saat ini juga dikenal istilah klinis baru, yakni cirrhotic cardiomyopathy dan hepatopulmonary syndrome (Moller, 2006; Bosch, 2007).

Naskah lengkap disini


The Stent : From Where to Where?

M. Yusuf Suseno, Yudi Her Oktaviono

Percutaneus transluminal coronary angioplasty (PTCA) diperkenalkan oleh Andreas Gruentzig(1939-1985) di Zurich, Swiss, tahun 1977. Keduanya, sang dokter dan pasien pertamanya, sama-sama berusia 38 tahun.2
Prosedur tersebut semula dibatasi pada pasien dengan penyakit jantung koroner(PJK) simptomatis sebagai alternatif coronary artery bypass grafting (CABG).3 Tetapi penurunan tingkat stenosis dan perbaikan gejala klinis yang terjadi meningkatkan penggunaan metode ini, terutama pada dekade berikutnya.4 Namun, PTCA dikritik karena prosedur ini memiliki banyak keterbatasan.5
Pertama, penutupan pembuluh darah yang mendadak(abrupt vessel closure). Abrupt vessel closure terjadi karena diseksi saat angioplasty, juga pembentukan trombus pada 6.8 hingga 8.3 persen kasus.6,7,8 Komplikasi ini bisa muncul dalam beberapa menit setelah dilatasi balon, tetapi dapat pula terjadi beberapa jam kemudian.9
Masalah kedua adalah restenosis. Pada era 1980-an, restenosis terjadi pada 30–60% pasien dan menimbulkan gejala terutama pada 1–4 bulan paska prosedur.10 Restenosis bertanggung jawab pada tingginya tingkat hospitalisasi dan reintervensi.5 Pengalaman yang bertambah pada teknologi PTCA mempeluas seleksi pasien dan menurunkan tingkat restenosis. Tetapi terobosan terbesar pada dunia intervensi koroner adalah penemuan stent koroner. 10

Naskah lengkap disini

PENGARUH KEMOTERAPI TERHADAP KARDIOVASKULER

Edy Kurniawan, Budi Bakti

Kanker adalah proliferasi abnormal dari sel yang tidak terkendali dan kecenderungan menyebar keseluruh tubuh. Perkembangan penanganan kanker pada akhir ini mengalami kemajuan yang pesat demikian juga terjadi penurunan angka kesakitan dan kematian dari beberapa jenis kanker. Penanganan yang menyeluruh meliputi deteksi dini, kontrol yang teratur serta ketersediaan obat merupakan faktor yang berperan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian penderita kanker.
Penanganan kanker meliputi pembedahan, terapi medik, radioterapi, imunoterapi, maupun terapi kombinasi, akan dapat memperbaiki kualitas hidup penderita dan meningkatkan usia harapan hidup penderita jauh lebih baik.(Lefor AT, 1999, Edward T.H. Yeh, MD; Ann T. Tong, MD; Daniel J. Lenihan, MD et.al 2004)
Terapi medik atau kemoterapi adalah penggunaan bahan kimia atau obat-obatan yang bisa menghambat atau membunuh sel kanker. Kemoterapi bisa diberikan secara intravena atau oral.(ACS, 2005)
Semua obat mempunyai efek samping yang tidak diharapkan demikian juga kemoterapi yang dapat menyebabkan gangguan pada semua organ. Efek samping obat bisa timbul pada fase dini ataupun lambat dan bisa mengenai semua organ sasaran meskipun pemberiannya sesuai dengan dosis terapi sehingga monitoring efek samping obat (MESO) senantiasa harus dilakukan.(Soebandiri,1997).

Naskah lengkap disini

Media Edukasi dan Silaturahmi Alumni & PPDS Kardiologi Unair

Non Scholae Sad Vitae

Google
WWW Blog ini