Andrianto, R. Moh. Yogiarto
Gagal jantung merupakan salah satu masalah kesehatan di masyarakat yang penting. Saat ini, di Amerika Utara dan Eropa terdapat lebih dari 15 juta pasien dengan gagal jantung dan setiap tahun terjadi hampir 1,5 juta kasus baru. Gagal jantung merupakan penyebab tersering perawatan di rumah sakit pada populasi berusia lebih dari 65 tahun (Weibel, 2002; Mueller, 2004). Di seluruh Indonesia, secara epidemiologis diperkirakan jumlah pasien akan bertambah setiap tahunnya.
Gagal jantung akut memiliki prognosis yang jelek. Pasien gagal jantung dengan NYHA Functional Class IV memiliki angka mortalitas 40-50 % per tahun. Kematian mendadak dengan kemungkinan penyebab suatu aritmia ventrikel sering terjadi yaitu sebesar 20-50 % pasien. Sedangkan angka rehospitalisasi dengan frekwensi 1 kali atau lebih selama 12 bulan sebesar 45%.
Di negara-negara Eropa, penanganan gagal jantung menghabiskan 1-2% dari total biaya pemeliharan kesehatan masyarakat, di mana 75% dari biaya penanganan gagal jantung tersebut digunakan untuk biaya perawatan di rumah sakit. Diperkirakan biaya perawatan di rumah sakit untuk pasien-pasien gagal jantung akut setiap tahunnya mencapai 12,7 milyar dollar AS.
Gagal jantung akut dekompensata sering dipandang hanya sebagai kelainan volume overload dan cardiac output yang rendah. Strategi penanganan yang ditujukan untuk memaksimalkan cardiac output ternyata menghasilkan peningkatan angka mortalitas, sedang diuretik sebagai monoterapi berakibat pada peningkatan systemic vascular resistance (SVR) dan aktivasi refleks neuroendokrin.
Saat ini, diketahui bahwa gagal jantung akut ditandai dengan peningkatan left ventricular (LV) filling pressure yang mencerminkan adanya kombinasi antara peningkatan SVR dengan fungsi sistolik dan diastolik yang terganggu. Kenyataan ini telah menggeser penanganan gagal jantung akut dengan fokus pada diuretik sebagai monoterapi dan atau inotropik intravena ke arah penggunaan peptida natriuretik dan vasodilator dikombinasi dengan diuretik.
Naskah lengkap disini
22 Agustus 2008
Inferior Vena Cava Filter on Lower Limb Deep Vein Thrombosis
Andrianto, Yudi Her Oktaviono
Trombosis vena profunda dan emboli pulmonal merupakan dua hal dari satu rangkaian proses penyakit. Trombosis vena profunda tungkai bawah menjadi penyebab lebih dari 90% kasus emboli pulmonal, namun hanya sekitar 10% kasus tersebut tampak secara klinis. Komplikasi paling berat dari penyakit tromboemboli vena adalah emboli pulmonal. 8,16
Trombosis vena profunda paling sering terjadi pada tungkai bawah dan dapat pula timbul hanya pada vena tungkai atas atau pelvis. Culprit veins yang sering terlibat pada kejadian emboli pulmonal yang bermakna secara klinis adalah cephalad sampai dengan trifurkasio. 16
Emboli pulmonal akan menimbulkan simtom bila emboli berukuran besar, dan bila emboli berdiameter lebih dari 7,5 mm dapat berakibat fatal. Perawatan di rumah sakit diperlukan bagi pasien dengan emboli pulmonal. Di Amerika Serikat, setiap tahun didiagnosis 355.000 pasien dengan emboli pulmonal, dan sebanyak 240.000 diantaranya meninggal. Emboli pulmonal menempati urutan ketiga sebagai penyebab tersering kematian mendadak penyakit kardiovaskular. 8
Antikoagulan sistemik dengan heparin intravena dilanjutkan dengan warfarin oral masih menjadi modalitas utama pengobatan trombosis vena profunda dan pencegahan terjadinya emboli pulmonal. Penggunaan heparin merupakan tonggak revolusi pengobatan emboli pulmonal dengan menurunkan risiko emboli pulmonal yang fatal hingga 75% dan menurunkan risiko kekambuhan terjadinya emboli pulmonal dari 25 % menjadi 2%. 8, 16
Meskipun demikian, terdapat beberapa laporan bahwa sekitar 33% pasien dengan emboli pulmonal kambuh dengan terapi antikoagulan yang telah diberikan secara adekuat. Terapi antikoagulan berkaitan pula dengan risiko perdarahan, sehingga perlu dihindari pemakaian pada pasien dengan resiko gagal terapi yang tinggi, yaitu meliputi pasien dengan stroke perdarahan, metastasis sistem saraf pusat atau kelainan perdarahan. Heparin dapat dipakai selama kehamilan namun warfarin memiliki efek samping bemakna pada perkembangan janin karena warfarin dapat menembus plasenta.
Naskah lengkap disini
Trombosis vena profunda dan emboli pulmonal merupakan dua hal dari satu rangkaian proses penyakit. Trombosis vena profunda tungkai bawah menjadi penyebab lebih dari 90% kasus emboli pulmonal, namun hanya sekitar 10% kasus tersebut tampak secara klinis. Komplikasi paling berat dari penyakit tromboemboli vena adalah emboli pulmonal. 8,16
Trombosis vena profunda paling sering terjadi pada tungkai bawah dan dapat pula timbul hanya pada vena tungkai atas atau pelvis. Culprit veins yang sering terlibat pada kejadian emboli pulmonal yang bermakna secara klinis adalah cephalad sampai dengan trifurkasio. 16
Emboli pulmonal akan menimbulkan simtom bila emboli berukuran besar, dan bila emboli berdiameter lebih dari 7,5 mm dapat berakibat fatal. Perawatan di rumah sakit diperlukan bagi pasien dengan emboli pulmonal. Di Amerika Serikat, setiap tahun didiagnosis 355.000 pasien dengan emboli pulmonal, dan sebanyak 240.000 diantaranya meninggal. Emboli pulmonal menempati urutan ketiga sebagai penyebab tersering kematian mendadak penyakit kardiovaskular. 8
Antikoagulan sistemik dengan heparin intravena dilanjutkan dengan warfarin oral masih menjadi modalitas utama pengobatan trombosis vena profunda dan pencegahan terjadinya emboli pulmonal. Penggunaan heparin merupakan tonggak revolusi pengobatan emboli pulmonal dengan menurunkan risiko emboli pulmonal yang fatal hingga 75% dan menurunkan risiko kekambuhan terjadinya emboli pulmonal dari 25 % menjadi 2%. 8, 16
Meskipun demikian, terdapat beberapa laporan bahwa sekitar 33% pasien dengan emboli pulmonal kambuh dengan terapi antikoagulan yang telah diberikan secara adekuat. Terapi antikoagulan berkaitan pula dengan risiko perdarahan, sehingga perlu dihindari pemakaian pada pasien dengan resiko gagal terapi yang tinggi, yaitu meliputi pasien dengan stroke perdarahan, metastasis sistem saraf pusat atau kelainan perdarahan. Heparin dapat dipakai selama kehamilan namun warfarin memiliki efek samping bemakna pada perkembangan janin karena warfarin dapat menembus plasenta.
Naskah lengkap disini
RAHADIAN'S WEDDING
Pernikahan merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan oleh Allah SWT. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.
Selamat ya bro, moga acaranya lancar...
Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak.
Selamat ya bro, moga acaranya lancar...
EMERGENT PERCUTANEOUS TRANSVENOUS MITRAL COMMISUROTOMY IN SEVERE MITRAL STENOSIS WITH CARDIAC ARREST AFTER CESARIAN SECTION
Andrianto , Iwan N.Boestan
Pasien stenosis mitral dengan kehamilan merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.8, 12 Masa kehamilan dan peripartum berkaitan dengan perubahan kardiosirkulasi penting yang dapat menyebabkan perburukan klinis yang nyata pada wanita dengan kelainan jantung. 14, 16 Seringkali pasien-pasien demikian memerlukan masa tirah baring dan hospitalisasi yang lebih lama walaupun terapi secara klinis telah dioptimalkan. 16
Dari 75% pasien dengan penyulit penyakit jantung selama kehamilan, stenosis mitral merupakan kelainan terpenting dan paling sering terjadi. Angka mortalitas pasien dengan stenosis mitral berat pada kehamilan mencapai 5%.10 Persalinan, melahirkan dan permulaan nifas merupakan masa paling berisiko karena terjadinya beban tambahan sistem kardiovaskular pada wanita .10,15 Telah diketahui bahwa tindakan seksio sesaria dengan berbagai teknik anestesinya berkaitan pula dengan perubahan hemodinamik secara bermakna.8
Setelah diperkenalkan pertama kali oleh Inoue dkk pada tahun 1984, berbagai laporan menyatakan bahwa Percutaneous Transvenous Mitral Commisurotomy (PTMC) dapat memperbaiki dengan segera kondisi hemodinamik pasien-pasien stenosis mitral. Banyak penelitian menunjukkan bahwa PTMC merupakan tindakan yang aman dan efektif dibandingkan tindakan bedah katup mitral pada kehamilan dengan stenosis mitral berat.11,12 Pada keadaan gawat darurat di mana profil hemodinamik memburuk, emergency PTMC perlu dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
Naskah lengkap disini
Pasien stenosis mitral dengan kehamilan merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.8, 12 Masa kehamilan dan peripartum berkaitan dengan perubahan kardiosirkulasi penting yang dapat menyebabkan perburukan klinis yang nyata pada wanita dengan kelainan jantung. 14, 16 Seringkali pasien-pasien demikian memerlukan masa tirah baring dan hospitalisasi yang lebih lama walaupun terapi secara klinis telah dioptimalkan. 16
Dari 75% pasien dengan penyulit penyakit jantung selama kehamilan, stenosis mitral merupakan kelainan terpenting dan paling sering terjadi. Angka mortalitas pasien dengan stenosis mitral berat pada kehamilan mencapai 5%.10 Persalinan, melahirkan dan permulaan nifas merupakan masa paling berisiko karena terjadinya beban tambahan sistem kardiovaskular pada wanita .10,15 Telah diketahui bahwa tindakan seksio sesaria dengan berbagai teknik anestesinya berkaitan pula dengan perubahan hemodinamik secara bermakna.8
Setelah diperkenalkan pertama kali oleh Inoue dkk pada tahun 1984, berbagai laporan menyatakan bahwa Percutaneous Transvenous Mitral Commisurotomy (PTMC) dapat memperbaiki dengan segera kondisi hemodinamik pasien-pasien stenosis mitral. Banyak penelitian menunjukkan bahwa PTMC merupakan tindakan yang aman dan efektif dibandingkan tindakan bedah katup mitral pada kehamilan dengan stenosis mitral berat.11,12 Pada keadaan gawat darurat di mana profil hemodinamik memburuk, emergency PTMC perlu dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
Naskah lengkap disini
PEMERIKSAAN SONOGRAFI VASKULAR EKSTREMITAS ATAS
Andrianto , Moh. Soetomo
Usia lebih dari 65 tahun, diabetes mellitus dan merokok merupakan faktor risiko yang berkorelasi kuat terhadap kejadian penyakit vaskular perifer. Menurut WHO 2002, diperkirakan populasi berusia lebih dari 65 tahun di seluruh dunia meningkat dari 420 juta pada tahun 2000 menjadi 973 juta pada tahun 2030. Data Wild et al 2004, menunjukkan bahwa prevalensi diabetes mellitus di Indonesia diperkirakan meningkat dari 8,1 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Sedangkan WHO 1996 menyebutkan insidensi merokok meningkat sekitar 1,7 % per tahun di negara-negara sedang berkembang.
Permasalahan kelainan vaskular ekstremitas atas lebih kompleks. Ekstremitas atas memiliki struktur dan fungsi yang unik dengan anatomi vaskular yang rumit. Kelainan vaskular ekstremitas atas dapat disebabkan oleh berbagai hal, meliputi aterosklerosis, kompresi mekanis pada daerah thoracic outlet, vasospasme arteri jari, trauma disertai trombus pada tangan dan pergelangan, tromboemboli jantung serta aneurisma lengan proksimal. Oleh karenanya perlu dipikirkan berbagai penyebab tersebut bila menghadapi kelainan vaskular ekstremitas atas.
Berbagai kelainan vaskular yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dapat didiagnosis dengan modalitas pemeriksaan non invasif secara baik. Modalitas pemeriksaan non invasif memperbaiki hasil evaluasi dengan memberikan ukuran obyektif dari berbagai parameter anatomis ataupun fisiologis. Ultrasonografi Doppler merupakan modalitas non invasif yang penting dalam deteksi kelainan vaskular perifer.
Naskah lengkap disini
Usia lebih dari 65 tahun, diabetes mellitus dan merokok merupakan faktor risiko yang berkorelasi kuat terhadap kejadian penyakit vaskular perifer. Menurut WHO 2002, diperkirakan populasi berusia lebih dari 65 tahun di seluruh dunia meningkat dari 420 juta pada tahun 2000 menjadi 973 juta pada tahun 2030. Data Wild et al 2004, menunjukkan bahwa prevalensi diabetes mellitus di Indonesia diperkirakan meningkat dari 8,1 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Sedangkan WHO 1996 menyebutkan insidensi merokok meningkat sekitar 1,7 % per tahun di negara-negara sedang berkembang.
Permasalahan kelainan vaskular ekstremitas atas lebih kompleks. Ekstremitas atas memiliki struktur dan fungsi yang unik dengan anatomi vaskular yang rumit. Kelainan vaskular ekstremitas atas dapat disebabkan oleh berbagai hal, meliputi aterosklerosis, kompresi mekanis pada daerah thoracic outlet, vasospasme arteri jari, trauma disertai trombus pada tangan dan pergelangan, tromboemboli jantung serta aneurisma lengan proksimal. Oleh karenanya perlu dipikirkan berbagai penyebab tersebut bila menghadapi kelainan vaskular ekstremitas atas.
Berbagai kelainan vaskular yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dapat didiagnosis dengan modalitas pemeriksaan non invasif secara baik. Modalitas pemeriksaan non invasif memperbaiki hasil evaluasi dengan memberikan ukuran obyektif dari berbagai parameter anatomis ataupun fisiologis. Ultrasonografi Doppler merupakan modalitas non invasif yang penting dalam deteksi kelainan vaskular perifer.
Naskah lengkap disini
INTERVENSI KORONER PERKUTAN PADA PENDERITA DIABETES
Andrianto Baedowi, Iwan N. Boestan
Saat ini, terdapat lebih dari 150 juta penduduk menderita Diabetes Mellitus (DM) di seluruh dunia dan diperkirakan jumlah ini akan meningkat mencapai 300 juta pada tahun 2025. Di negara kita, pada tahun 2000 terdapat 8.4 juta penduduk menderita DM dan pada tahun 2030 jumlah ini diperkirakan meningkat mencapai 21,3 juta penduduk, dimana dengan jumlah tersebut menempatkan negara kita pada peringkat ke-4 tertinggi di dunia.
DM menyebabkan peningkatan secara bermakna prevalensi coronary artery disease (CAD). Pada pasien diabetes, kejadian CAD meningkat 2-4 kali lipat lebih sering dibanding pasien non-diabetes. DM juga merupakan salah satu faktor risiko independen meningkatnya angka mortalitas kardiovaskular. Lebih dari 50% kematian pasien diabetes disebabkan karena kejadian kardiovaskular.7,8,9 Sementara itu, angka survival pasien berusia lebih dari 65 tahun dengan CAD menurun secara bermakna pada pasien diabetes bila dibandingkan pasien non-diabetes. 26
Presentasi klinis CAD pada pasien diabetes cenderung lebih buruk di banding pasien non-diabetes. Diketahui pula bahwa baik secara klinis maupun angiografi, outcome tindakan percutaneous coronary intervention (PCI) pasien diabetes lebih buruk dibanding pasien non-diabetes. 1,2,3 Meskipun berbagai perkembangan meliputi pemakaian stent intra koroner dan glycoprotein IIb/IIIa antagonist telah menghasilkan outcome tindakan intervensi yang lebih baik, namun perbedaan outcome masih terjadi antara pasien diabetes dan non-diabetes.
Pada tinjauan kepustakaan ini akan dibahas beberapa hal mengenai tindakan PCI pada pasien diabetes.
Langkah lengkap disini
Saat ini, terdapat lebih dari 150 juta penduduk menderita Diabetes Mellitus (DM) di seluruh dunia dan diperkirakan jumlah ini akan meningkat mencapai 300 juta pada tahun 2025. Di negara kita, pada tahun 2000 terdapat 8.4 juta penduduk menderita DM dan pada tahun 2030 jumlah ini diperkirakan meningkat mencapai 21,3 juta penduduk, dimana dengan jumlah tersebut menempatkan negara kita pada peringkat ke-4 tertinggi di dunia.
DM menyebabkan peningkatan secara bermakna prevalensi coronary artery disease (CAD). Pada pasien diabetes, kejadian CAD meningkat 2-4 kali lipat lebih sering dibanding pasien non-diabetes. DM juga merupakan salah satu faktor risiko independen meningkatnya angka mortalitas kardiovaskular. Lebih dari 50% kematian pasien diabetes disebabkan karena kejadian kardiovaskular.7,8,9 Sementara itu, angka survival pasien berusia lebih dari 65 tahun dengan CAD menurun secara bermakna pada pasien diabetes bila dibandingkan pasien non-diabetes. 26
Presentasi klinis CAD pada pasien diabetes cenderung lebih buruk di banding pasien non-diabetes. Diketahui pula bahwa baik secara klinis maupun angiografi, outcome tindakan percutaneous coronary intervention (PCI) pasien diabetes lebih buruk dibanding pasien non-diabetes. 1,2,3 Meskipun berbagai perkembangan meliputi pemakaian stent intra koroner dan glycoprotein IIb/IIIa antagonist telah menghasilkan outcome tindakan intervensi yang lebih baik, namun perbedaan outcome masih terjadi antara pasien diabetes dan non-diabetes.
Pada tinjauan kepustakaan ini akan dibahas beberapa hal mengenai tindakan PCI pada pasien diabetes.
Langkah lengkap disini
SEORANG WANITA DENGAN EBSTEIN’S ANOMALY
Andrianto, Agus Subagjo
Pada tahun 1866, Wilhelm Ebstein pertama kali melaporkan suatu kasus kelainan katup trikuspid dengan judul “Concerning a very rare case of insufficiency of the tricuspid valve caused by a congenital malformation“. 7 Pada tahun 1927, Alfred Amstein mengusulkan nama kelainan kongenital katup trikuspid yang khas tersebut sebagai Ebstein’s anomaly. Kemudian pada tahun 1937, Yates dan Saphiro melaporkan kasus Ebstein’s anomaly yang disertai dengan data elektrokardiografi dan radiologi .
Ebstein’s anomaly ditandai dengan letak daun posterior dan septal dari katup trikuspid yang bergeser ke apikal sehingga terjadi atrialisasi ventrikel kanan, dan seringkali disertai kelainan jantung yang lain seperti atrial septal defect (ASD), patent foramen ovale (PFO), pembesaran atrium kanan dan kelainan miokard.
Prevalensi Ebstein’s anomaly secara pasti di Amerika Serikat tidak diketahui, karena kelainan dengan derajat ringan dari kasus ini seringkali tidak terdiagnosis.12 Diperkirakan angka kejadiannya sebesar 1-5 kasus per 200.000 kelahiran hidup dan menempati 0,5-1% dari seluruh kelainan jantung kongenital.
Sebagai kelainan kongenital yang kompleks, Ebstein’s anomaly memiliki spektrum yang luas, baik secara klinis maupun patologi-anatomis. Tidak satupun pasien memiliki kelainan yang sama dengan pasien yang lain. Perjalanan klinis bervariasi tergantung tingkat pergeseran letak katup trikuspid. Dengan demikian, pengetahuan yang memadai tentang berbagai variabel hemodinamik, perbedaan secara anatomis serta alternatif penatalaksanaan dari kelainan ini menjadi hal yang penting.
Naskah lengkap disini
Pada tahun 1866, Wilhelm Ebstein pertama kali melaporkan suatu kasus kelainan katup trikuspid dengan judul “Concerning a very rare case of insufficiency of the tricuspid valve caused by a congenital malformation“. 7 Pada tahun 1927, Alfred Amstein mengusulkan nama kelainan kongenital katup trikuspid yang khas tersebut sebagai Ebstein’s anomaly. Kemudian pada tahun 1937, Yates dan Saphiro melaporkan kasus Ebstein’s anomaly yang disertai dengan data elektrokardiografi dan radiologi .
Ebstein’s anomaly ditandai dengan letak daun posterior dan septal dari katup trikuspid yang bergeser ke apikal sehingga terjadi atrialisasi ventrikel kanan, dan seringkali disertai kelainan jantung yang lain seperti atrial septal defect (ASD), patent foramen ovale (PFO), pembesaran atrium kanan dan kelainan miokard.
Prevalensi Ebstein’s anomaly secara pasti di Amerika Serikat tidak diketahui, karena kelainan dengan derajat ringan dari kasus ini seringkali tidak terdiagnosis.12 Diperkirakan angka kejadiannya sebesar 1-5 kasus per 200.000 kelahiran hidup dan menempati 0,5-1% dari seluruh kelainan jantung kongenital.
Sebagai kelainan kongenital yang kompleks, Ebstein’s anomaly memiliki spektrum yang luas, baik secara klinis maupun patologi-anatomis. Tidak satupun pasien memiliki kelainan yang sama dengan pasien yang lain. Perjalanan klinis bervariasi tergantung tingkat pergeseran letak katup trikuspid. Dengan demikian, pengetahuan yang memadai tentang berbagai variabel hemodinamik, perbedaan secara anatomis serta alternatif penatalaksanaan dari kelainan ini menjadi hal yang penting.
Naskah lengkap disini
RISIKO STENT THROMBOSIS
Andrianto, Iwan N. Boestan
Saat ini, lebih dari 80% kasus intervensi koroner diluar negeri dilaksanakan dengan pemasangan stent. Keadaan yang serupa terjadi pula di negara kita dimana pemasangan stent telah dimulai sejak tahun 1992 dan jumlahnya terus makin bertambah. Hal demikian bisa dimengerti, karena stent memiliki keunggulan dibanding balloon angioplasty dalam hal pencegahan penutupan arteri mendadak (abrupt vessel closure), dapat mengurangi angka revaskularisasi arteri bermasalah (target vessel revascularization), dan telah terbukti dapat mengurangi risiko penyumbatan kembali setelah intervensi (restenosis).
Keberhasilan jangka panjang dari pemasangan stent koroner terkendala oleh kejadian restenosis. Angka kejadian restenosis meningkat seiring dengan peningkatan jumlah pemasangan stent. Angka kejadian restenosis berkisar antara 10% sampai dengan 58% tergantung dari karakteristik lesi di arteri koroner dan variabel-variabel yang ada pada pasien. Sebagai upaya pencegahan terjadinya kejadian restenosis maka muncul terobosan teknologi berupa penggunaan drug-eluting stent (DES).
Naskah lengkap disini
Saat ini, lebih dari 80% kasus intervensi koroner diluar negeri dilaksanakan dengan pemasangan stent. Keadaan yang serupa terjadi pula di negara kita dimana pemasangan stent telah dimulai sejak tahun 1992 dan jumlahnya terus makin bertambah. Hal demikian bisa dimengerti, karena stent memiliki keunggulan dibanding balloon angioplasty dalam hal pencegahan penutupan arteri mendadak (abrupt vessel closure), dapat mengurangi angka revaskularisasi arteri bermasalah (target vessel revascularization), dan telah terbukti dapat mengurangi risiko penyumbatan kembali setelah intervensi (restenosis).
Keberhasilan jangka panjang dari pemasangan stent koroner terkendala oleh kejadian restenosis. Angka kejadian restenosis meningkat seiring dengan peningkatan jumlah pemasangan stent. Angka kejadian restenosis berkisar antara 10% sampai dengan 58% tergantung dari karakteristik lesi di arteri koroner dan variabel-variabel yang ada pada pasien. Sebagai upaya pencegahan terjadinya kejadian restenosis maka muncul terobosan teknologi berupa penggunaan drug-eluting stent (DES).
Naskah lengkap disini
Langganan:
Postingan (Atom)
Media Edukasi dan Silaturahmi Alumni & PPDS Kardiologi Unair
Non Scholae Sad Vitae