12 April 2011

MANIFESTASI KARDIOVASKULER PADA SKLERODERMA

Muhammad Muqsith, Joewono Soeroso

Skleroderma, atau sklerosis sistemik, adalah penyakit meluas yang ditandai dengan akumulasi jaringan ikat yang berlebihan; fibrosis; pembentukan autoantibodi terhadap sejumlah antigen seluler; dan perubahan degeneratif pada kulit, otot rangka, sinovium, pembuluh darah, saluran pencernaan, ginjal, paru dan jantung. Fenomena Raynaud, disfungsi esophagus dan kulit sklerotik menjadi karakter utama penyakit ini dan dapat ditemui di lebih dari 90% pasien. Dua varian utama skleroderma adalah kutaneus difus (20% kasus) dan kutaneus terbatas (80% kasus). Tipe difus yang lebih sedikit ini ditandai dengan penebalan kulit pada ekstremitas bagian distal dan proksimal serta batang tubuh dan sering melibatkan ginjal, paru dan jantung. Tipe difus adalah jenis yang progresif dan sering merusak banyak organ dalam, tidak hanya kulit saja. Pada tipe terbatas yang menonjolkan sindrom CREST (kalsinosis, fenomena Raynaud, disfungsi esofagus, sklerodaktili dan teleangiektasia), perubahan pada kulit hanya terbatas pada wajah, jari jemari dan bagian distal ekstremitas. Varian ketiga yang jarang didapatkan adalah overlap syndrome; sindrom ini terdiri dari skleroderma yang terasosiasi dengan penyakit jaringan ikat lainnya, misalnya lupus sistemik (SLE), artritis rheumatoid, polimiositis dan sindrom Sjögren (Roldan 2009, Gabrielli 2009; Roldan 2008).

Insidens skleroderma adalah 10-20 per juta populasi per tahun. Penyakit ini tidak memandang ras dan dijumpai tiga kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan pada laki-laki dan bermanifestasi pada umur 30 sampai 50 tahun. Hanya kurang dari 10% pasien yang terkena skleroderma di bawah usia 20 tahun Tipe kutaneus difus memiliki prognosis yang lebih buruk daripada tipe kutaneus terbatas. Angka kelangsungan hidup kumulatif secara menyeluruh setelah 3, 6 dan 9 tahun adalah masing-masing 86%, 76% dan 61%. Prognosis lebih buruk dijumpai pada laki-laki berumur lebih dari 50 tahun dengan keterlibatan ginjal, paru dan jantung. Penyakit paru, termasuk hipertensi pulmoner dan penyakit ginjal adalah penyebab utama kematian; peringkat selanjutnya adalah penyakit jantung, dengan angka kelangsungan hidup kumulatif hanya 20% pada 7 tahun. Adanya penyakit miokard ini, bahkan tanpa ada keterlibatan ginjal dan paru sekalipun, memiliki faktor prognostik yang buruk. Dalam sebuah analisis multivariat, keterlibatan jantung yang terdefinisi sebagai adanya gangguan konduksi bermakna, aritmia ventrikel, gagal jantung atau efusi perikard menetap berhubungan dengan peningkatan angka kematian (hazard ratio 2.8) lebih daripada ginjal (1.9) maupun paru (1.6). Penyebab utama kematian akibat jantung adalah penyakit jantung iskemik mikrovaskuler fungsional dan struktural, diikuti dengan gagal jantung refrakter, kematian tiba-tiba, dan perikarditis. Penyakit jantung skleroderma bermanifestasi terutama sebagai penyakit jantung koroner mikrovaskuler, miokarditis dan hipertensi pulmoner dengan atau tanpa cor pulmonale. Perikarditis, gangguan pada sistem konduksi dan aritmia lebih jarang didapatkan. Penyakit jantung skleroderma yang nyata secara klinis dilaporkan hanya pada kurang dari seperempat kasus; angka temuan meningkat hingga mencapai 80% pada kasus-kasus otopsi. Selain itu, penyakit miokard primer tanpa keterlibatan ginjal dan paru dapat terjadi (Roldan 2009; Gabrielli, 2009; Belloli, 2008; Allanore, 2008; Haustein, 2002).


Naskah selengkapnya disini


Tidak ada komentar:

Media Edukasi dan Silaturahmi Alumni & PPDS Kardiologi Unair

Non Scholae Sad Vitae

Google
WWW Blog ini