30 Desember 2010
28 Desember 2010
SINDROMA ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID
Sindroma antibodi antifosfolipid adalah sekumpulan gejala klinis yang ditandai dengan terdapatnya antibodi antifosfolipid di dalam plasma disertai dengan riwayat kejadian trombosis dan/atau morbiditas kehamilan (Austin et al 2006, Pasquali et al 2008, Urbanus et al 2008, George et al 2009).
Sindroma antibodi antifosfolipid merupakan penyebab utama terjadinya trombofilia yang berhubungan dengan trombosis pada arteri dan/atau vena, seperti deep vein thrombosis (DVT), emboli paru, trombosis arteri koroner, trombosis serebrovaskuler, transient ischemic attack (TIA) dan trombosis vaskuler plasenta (Gezer 2003).
Angka prevalensi sindroma antibodi antifosfolipid terutama pada individu yang asimtomatik sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti. Montpellier Antiphospholipid Study merupakan penelitian pertama yang menyatakan bahwa diantara para responden yang telah dinyatakan positif memiliki antibodi antifosfolipid, hanya 28% diantaranya yang memiliki manifestasi klinis sindroma antibodi antifosfolipid. Namun para responden selanjutnya tidak dilakukan pengamatan lebih lanjut (Gezer 2003). Pada penelitian yang lain, dari sebuah survei terhadap 100 orang penderita emboli paru dan deep vein thrombosis (DVT), 24 % diantaranya didapatkan antibodi antikardiolipin. Ini menyimpulkan bahwa antibodi antikardiolipin cukup banyak dijumpai, sehingga jika ditemukan kasus emboli paru dan deep vein thrombosis (DVT) yang tidak jelas etiologinya maka antibodi antifosfolipid seharusnya diperiksa (Gezer 2003).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap penderita lupus eritematosus sistemik, prevalensi antibodi antifosfolipid lebih tinggi, berkisar 12%-30% untuk antibodi antikardiolipin dan 15%-34% untuk antibodi antikoagulan lupus. Antibodi antifosfolipid dapat meningkat prevalensinya menjadi 15%-86% jika penderita lupus eritematosus sistemik yang memiliki antibodi antifosfolipid dilakukan pengamatan lebih lanjut selama 20 tahun (Gezer 2003, Austin 2006).
Naskah selengkapnya disini15 Desember 2010
GANGGUAN SISTEM SARAF AUTONOM PADA USIA LANJUT
Ni Gusti Putu Sri Andayani, Jusri Ichwani
Sistem saraf autonom merupakan salah satu sistem dalam tubuh yang berperan penting dalam mempertahankan kondisi lingkungan dalam tubuh yang konstan (homeostasis) dengan pengaturan keseimbangan kerja dari komponen utamanya, yaitu: sistem saraf simpatis dan parasimpatis (Kincaid, 2003). Sejalan dengan proses menua terdapat kecenderungan penurunan kapasitas dan fungsi baik pada tingkat seluler maupun organ. Hal tersebut menyebabkan populasi usia lanjut sulit memelihara homeostasis tubuh sehingga lebih mudah mengalami disfungsi berbagai sistem organ, termasuk gangguan sistem saraf autonom baik terkait dengan penyakit maupun proses fisiologis (Setiati, 2007a).
Gangguan sistem saraf autonom dapat berdampak luas pada berbagai organ atau proses metabolisme dan bersifat reversibel maupun progresif sehingga sering mengganggu kualitas hidup usia lanjut (Shellil, 2004; Setiati, 2007a). Manifestasi klinis gangguan sistem saraf autonom sangat bervariasi tergantung pada jumlah faktor termasuk organ yang terlibat, keseimbangan normal persarafan simpatis-parasimpatis, dan penyakit yang mendasari (Mathias, 2003). Suatu analisa epidemiologi global menyebutkan bahwa gangguan sistem saraf merupakan penyebab penting kematian (1:9) dan ketidakmampuan beraktifitas di seluruh dunia terutama di negara berkembang (Bergen, 2002).
Gangguan autonom pada usia lanjut yang sering terjadi dan perlu mendapat perhatian adalah hipotensi ortostatik, gangguan pengaturan suhu, kandung kemih dan saluran cerna (Martono, 2009). Prevalensi hipotensi ortostatik pada usia lanjut relatif tinggi berkisar 5-50% dan berhubungan dengan bertambahnya usia (Weiss, 2002; Weiss, 2004; Braunwald, 2008). Caird dkk melaporkan kejadian hipotensi ortostatik pada usia lanjut (> 65 tahun) yang tinggal di rumah dengan penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg, 30 mmHg, 40 mmHg, berturut-turut sebesar 24 %, 9 %, dan 5% (Victor, 2000). Gangguan pengaturan suhu juga ditemukan sering terjadi dan secara signifikan meningkatkan angka morbiditas serta mortalitas pada populasi usia lanjut dibandingkan usia muda. Data insidensi maupun prevalensi hipotermia maupun hipertermia yang pasti masih sangat terbatas. Berdasarkan data statistik di Canada, didapatkan angka kematian akibat hipotermia, frostbite, dan trauma oleh suhu dingin sebesar 411 selama periode tahun 1992-1996, sedangkan di Amerika Serikat > 700 kasus kematian per tahun selama periode tahun 1979-1995 dan setengahnya berumur > 65 tahun (Biem, 2003). Hipertermia terbanyak menyerang usia lanjut dengan penyakit kronis dengan angka kematian dapat mencapai 80% (Kane, 2009). Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 1.700 orang per tahun dilaporkan meninggal di Amerika Serikat sebagai akibat heat stroke saat cuaca panas dan sekitar 80% terjadi pada usia > 50 tahun (Angelo, 2008). Impotensi dan inkontinensia meningkat sejalan dengan peningkatan usia namun kedua keadaan tersebut dapat disebabkan oleh sejumlah proses lainnya (Victor, 2000). Demikian juga, konstipasi merupakan keluhan terbanyak dari saluran cerna pada usia lanjut, namun batasannya tidak tegas dan memiliki patogenesis bervariasi, mencakup beberapa faktor yang tumpang tindih (Kris Pranarka, 2009).
Mengingat tingginya resiko dan luasnya dampak yang ditimbulkan, maka diperlukan pemahaman yang lebih mendalam mengenai gangguan sistem saraf autonom pada usia lanjut sehingga dapat memberikan perbaikan kualitas hidup, penurunan morbiditas dan mortalitas. Pada makalah ini akan dibahas mengenai gangguan sistem saraf autonom secara umum dan beberapa manifestasi klinis yang sering terjadi pada usia lanjut, seperti : hipotensi ortostatik dan gangguan pengaturan suhu (hipotermia dan hipertermia).
Naskah selengkapnya disini
HORMON TIROID DAN SISTEM KARDIOVASKULER
Iman Haryana, Ari Sutjahjo
Tiroid berasal dari bahasa Yunani, thyreos yang berarti perisai dan eidos yang berarti bentuk. Hormon tiroid merupakan hormon yang mempengaruhi berbagai metabolisme tubuh, sistem kardiovaskuler, sistem saraf pusat, kulit, saluran makanan, hati, gonad, laktasi dan pertumbuhan tubuh. Kelainan pada hormon tiroid akan mengakibatkan terjadinya perubahan dari sistem kardiovaskuler. Hipertiroid (tirotoksikosis) dan hipotiroid merupakan akibat dari kelainan hormon tiroid (Jamerson,2009; Sutjahjo,2007; Djokomoeljanto, 2006; Klein, 2008).
Tirotoksikosis adalah keadaan atau sindroma klinis karena adanya kelainan-kelainan fisiologis dan biokemis yang kompleks dari jaringan akibat kenaikan kadar hormon tiroid dalam sirkulasi. Hipertiroid adalah hiperaktivitas dari kelenjar tiroid. Tirotoksikosis dapat disebabkan kelainan pada kelenjar tiroid seperti : penyakit Grave, adenoma toksik tiroid, struma multinodusa toksik, tiroiditis sub akut, tirotoksikosis faktitia, tiroiditis hashimoto fase hipertiroid, karsinoma tiroid dan kelainan di luar kelenjar tiroid seperti tumor hipofisis. Prevalensi penyakit Grave kira-kira 0,5 % dari seluruh populasi dan 50-80% penyebab hipertiroid (Sutjahjo ,2007; Fritzgerald ,2009; Brent, 2008).
Hipotiroid adalah suatu keadaan klinis yang diakibatkan kekurangan hormon tiroid apapun sebabnya. Hipotiroid dapat disebabkan thyropivic (tidak adanya kelenjar tiroid), defisiensi Iodium, goitrous, tiroiditis Hashimoto, tiroiditis sub akut, terapi iodium radioaktif dan tiroidektomi subtotal pada penyakit Graves, gangguan fungsi hipofisis dan hipotalamus (Sutjahjo,2007). Prevalensi hipotiroidisme diperkirakan mencapai 3 sampai 4 persen dari seluruh penyakit dan 7 sampai 10 persen untuk bentuk penyakit ringan. Hipotiroid timbul lebih dari 1% pada populasi umum dan meningkat menjadi 5 % pada usia di atas 60 tahun. Berdasarkan jenis kelamin sekitar 1,5-2% pada wanita dan 0,2 % pada laki-laki (Fritzgerald, 2009; Mandel, 1993).
Hormon tiroid memiliki bermacam efek pada sistem kardiovaskuler. Kelainan pada hormon tiroid akan mengakibatkan gangguan pada sistem kardiovaskuler (Clemmons, 2004).
Naskah selengkapnya disini
12 Desember 2010
Seorang Penderita Dengan Ruptur Diseksi Aorta De Bakey Tipe IIIb, Stanford B
Ika Krisnawati, M Yogiarto, Puruhito
Diseksi aorta adalah salah satu kasus gawat darurat yang dapat ditemukan di ruang gawat darurat. Diperlukan penegakan diagnosis dan penatalaksanaan dini disebabkan tingkat mortalitasnya yang tinggi yaitu sebesar 1% tiap jamnya. Bila terjadi kesalahan diagnosa,mortalitasnya meningkat menjadi 25 % dalam 24 jam dan 75 % dalam 2 minggu(Patel and Arora 2008). Diseksi aorta mempunyai variasi manifestasi kinis, sehingga diperlukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan foto thoraks sebagai pemeriksaan awal yang dilanjutkan pemeriksaan tambahan lainnya dalam menegakkan diagnosa pasti (Klompas 2002).
Dibawah ini akan disajikan sebuah laporan kasus penderita laki-laki, 36 tahun dengan ruptur diseksi aorta De Bakey tipe IIIb, Stanford B yang berhasl dilakukan tindakan operasi.
Naskah selengkapnya disini