
Ada baiknya bila kita simak rambu-rambu diatas ini agar selamat dunia akhirat
Bekal-bekal Ramadhan 10 malam terakhir
Biar sahur-nya ngga kesiangan silakan juga download Jadwal Imsak dan Sholat Surabaya dan sekitarnya
Sebelum tahun 1960-an, pengklasifikasian obat-obatan anti-aritmia (OAA) belum menjadi perhatian para ahli karena kurangnya OAA yang tersedia pada saat itu. Hingga pada tahun 1950-an, misalnya, hanya ada dua jenis OAA yang tersedia yakni quinidine (diperkenalkan oleh Walter Frey pada tahun 1918) dan procainamide (ditemukan oleh Mark tahun 1951). Jenis OAA mulai bertambah jumlahnya pada tahun 1950 ketika Southworth memperkenalkan lidocaine dan ketika Harris-Kokernot menemukan efek anti-aritmia diphenylhidantoin. Selanjutnya Vaughan William pada tahun 1963 memperkenalkan obat pronethanol, suatu jenis obat beta-adrenergic receptor blocker yang memiliki efek anti-aritmia. Dengan makin bertambahnya jumlah OAA, para ahlipun mulai merasa pentingnya suatu pengklasifikasian, yang diharapkan dapat mempermudah pemahaman dan penggunaan obat-obatan anti-aritmia.1,2
Pada tahun 1970-an diperkenalkan dua sistem pengklasifikasian OAA, yakni yang dikembangkan oleh Singh dan Vaughan William (1970) dan oleh Hoffman dan Bigger (1971). Singh-Vaughan William mengkategorikan OAA atas empat kelas berdasar kerja elektrofisiologinya, yakni kelas-kelas I (sodium-channel blocker), II (beta-adrenergic receptor blockers), III (outward potassium conductance blockers) dan IV (calcium channel blockers). Sedangkan Hofman dan Bigger membagi OAA atas dua kelas, yakni obat-obatan yang bekerja mengurangi Vmax serta menekan eksitasi otot jantung (seperti quinidine dan procainamide) dan obat-obatan yang bekerja tanpa mengurangi Vmax dan tidak menghambat eksitasi otot-otot jantung. Dalam perjalanan selanjutnya, sistem klassifikasi Vaughan William lebih banyak digunakan, meskipun sebenarnya sistem ini juga mengadopsi dasar klasifikasi dari Hofman-Bigger dan ahli-ahli yang lain. Tahun 1974, misalnya, Singh memasukan konsep Hofman-Bigger kedalam sistem Singh-Vaughan William dan karenanya membagi kelas I klasifikasi Singh-Vaughan William menjadi sub-kelas Ia (obat yang mengurangi Vmax dan memperpanjang repolarisasi) dan Ib (obat yang mengurangi Vmax dan memperpendek repolarisasi). Harrison (1981) kemudian menambah sub-kelas Ic (obat yang mengurangi Vmax dan tidak mempengaruhi repolarisasi) untuk melengkapi klasifikasi Vaughan William. 1,2 Karena itu, klasifikasi Singh-Vaughan William yang ada saat ini bukan semata-mata didasarkan pada klassifikasi Singh-Vaughan William, namun hakekatnya merupakan kombinasi ide dari ahli-ahli lainnya. Karena itu pulalah, beberapa ahli menyebut klasifikasi Vaughan William ini sebagai klasifikasi Singh-Hauswirth-Harrison-Vaughan William (S-H-H-VH).3
Naskah lengkap disini
Slide disini
Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak.
Carmets tersebar luas di seluruh dunia dan ditemukan di berbagai etnik termasuk Asia tenggara. Di Amerika prevalensi Carmets mencapai 24% bahkan di Mexico mencapai 32% hal ini terkait dengan tingginya angka hiperglisemia dan hipertensi. Data Epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi Carmets di Asia Tenggara meningkat terkait dengan rendahnya kolesterol HDL dan secara genetik ada kecenderungan terjadi resistensi insulin pada populasi ini.
Innalillahi wa innailaihi rojiun.. keluarga besar PASKAL turut berduka cita atas meninggalnya dr. Rudi Atmoko, SpJP, tanggal 16 Agustus 2008, sekitar pukul 18.00, semoga amal ibadah beliau diterima disisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran yang luar biasa...
alamat duka : Sutorejo Utara VIF/24 Surabaya..
Diantara jejak dr. Rudi Atmoko, SpJP (Alm) on net :
Cost besar menghasilkan outcome besar hal yang wajar, cost besar menghasilkan outcome kecil atau sama dengan cost yang lebih rendah tidak efektif dan tidak efisien. Seorang dokter harus mampu memilih obat dengan cost terrendah menghasilkan outcome yang lebih besar atau minimal sama dengan obat yang costnya lebih besar. Perlu disadari tidak semua obat murah mempunyai efektivitas biaya (efisien) lebih besar begitu juga sebaliknya, dengan mempertimbangakan outcome yang dicapai, biaya evaluasi yang diperlukan terkadang obat mahal lebih efisien. Untuk menentukan pilihan obat antihipertensi yang lebih efisien Evaluasi ekonomi klinik atau yang lebih dikenal Farmakoekonomi dapat membantu dalam mengambil keputusan. Farmakoekonomi secara ringkas dapat didefinisikan sebagai penelitian untuk mengidentifikasi, mengukur, dan membandingkan biaya dengan outcome pengobatan.
Banyaknya golongan obat antihipertensi dengan harga yang beragam selain pertimbangan indikasi yang tepat pertimbangan Farmakoekonomi tidak boleh dikesampingkan, betapapun tinggi tingkat kepatuhan minum obat penderita tanpa didukung daya beli yang memadai keajegkan pengobatan tidak akan terjamin. Atas dasar data diatas penelitian Farmakoekonomi ini akan membandingkan efektivitas biaya penggunaan Calsium Channel Blocker (CCB) Amlodipin (tidak tersedia di Askes) dan Nifedipin (tersedia di Askes/Askes maskin) pada terapi hipertensi di Poli Jantung RSU Dr. Soetomo Surabaya. Untuk menilai hasil terapi (outcome) digunakan kriteria JNC VII.
Naskah lengkap disini
Sean W. Murphy dan Patrick S. Parfrey*
The Kidney and Urinary Tract Disease,Ed. Robert Schrier, 2007 pp. 2482-2501
Diterjemahkan oleh Yusra Pintaningrum
Penyakit ginjal terminal (PGT) dan penyakit kardiovaskuler saling berkaitan sejak awal dialisis kronik. Clyde Shields, pasien pertama yang menjalani dialisis jangka panjang, meninggal oleh karena infark miokard pada tahun 1970, pada usia 50 tahun, yaitu 11 tahun setelah hemodialisis (HD) pertama (1). Angka statistik bertambah sejak dibuktikan adanya efek penyakit kardiovaskuler pada pasien ginjal. Setengah kematian pasien dengan PGT diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler, hal tersebut hampir sama terjadi di seluruh dunia (2-10). Insiden infark miokard atau angina pertahun yang masuk rumah sakit (MRS) pada pasien yang menjalani HD sebanyak 8 %, dan pasien gagal jantung yang harus MRS atau diterapi dengan ultrafiltrasi sebanyak 10% (11). Diantara pasien yang memulai dialisis rumatan, sekitar 80% menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri (Left Ventricle Hypertrophy/LVH) atau kelainan disfungsi sistolik yang merupakan prediksi gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure/CHF), penyakit jantung iskemi (Ischemic Heart Disease/IHD), dan kematian (12). Prevalensi yang tinggi pada abnormalitas ventrikel kiri menunjukkan bahwa pasien sebaiknya menjalani transplantasi ginjal (13). Lebih jauh lagi, angka kematian kardiovaskuler pada pasien yang menjalani dialisis lebih tinggi dari populasi umum pada semua kelompok usia, terutama kelompok usia yang lebih muda (Gambar 95-1). Pada beberapa tahun terakhir telah ada kewaspadaan bahwa penyakit ginjal kronis (PGK) pada semua stadium – tidak hanya dialisis – telah memberikan efek prognosis pasien pada penyakit jantung (14-20).
Naskah lengkap disini
Suryono, Jeffrey D. Adipranoto
Stenosis arteri karotis sampai saat ini masih menjadi problem kesehatan masyarakat, hal ini terkait dengan meningkatnya resiko kejadian stroke iskemik maupun stroke emboli. Suatu laporan menyebutkan bahwa insident stroke iskemik meningkat sejalan dengan meningkatnya usia, yakni 33 % sebelum usia 45 tahun dan 80% setelah 50 tahun, sedangkan penyebab dari keseluruhan kasus tersebut 20% sampai dengan 30% akibat stenosis arteri karotis.1
Stenosis arteri karotis dapat ditemukan secara kebetulan, pada pasien ini biasanya asymtomatis dan ditemukan bersama dengan penyakit vaskuler lain, misalnya stenosis pada : arteri koroner, extremitas bawah dan arteri renalis. Pada pasien symtomatis presentasi klinisnya dapat berupa Transient Ischemic Attacks (TIA) atau stroke iskemik berat akibat oklusi subtotal / oklusi total pada satu dan atau kedua arteri karotis.2
Penanganan stenosis arteri karotis meliputi pengobatan Medikamentosa, pembedahan dengan Carotid Endarterectomy (CEA) dan Angioplasty. Pengobatan Medikamentosa belum terbukti menghilangkan stenosis pada arteri karotis, pengobatan ini bertujuan mengobati faktor resiko stenosis dan memperlambat progresivitas plak namun efficacy terhadap Cerebral Ischemic Events masih menjadi perdebatan. CEA tidak dapat dilakukan pada semua pasien misalnya , usia lebih dari 79 tahun, penderita dengan penyakit jantung / ginjal / hepar berat, kelainan katup / disritmia yang berisiko terjadi emboli, pasien dengan angina / infark miokard dalam 6 bulan, pasien yang menjalani oprasi besar kurang dari satu bulan dan pasien yang menolak tindakan oprasi. Pada kondisi ini Carotid Angioplasty lebih disukai sebagai pilihan terapi oleh karena lebih sederhana, seleksi pasien lebih luas dan kurang invasive.3 Berikut ini akan dilaporkan kasus PTA-Stenting arteri karotis pada penderita yang mengalami TIA dan mengidap penyakit jantung koroner.
Naskah lengkap disini
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia dan penyebab utama perawatan di rumah sakit. Penyakit jantung koroner (PJK) menempati hampir 70 % penyakit kardiovaskuler. PJK disebabkan karena penyempitan/stenosis pada pembuluh darah koroner dengan presentasi klinis berupa iskemik miokard.
Dalam rangka menurunkan angka mortalitas akibat PJK berbagai teknologi telah dikembangkan baik invasive maupun noninvasive guna mendeteksi adanya iskemik miokard akibat stenosis koroner.1
Ekokardiografi merupakan salah satu sarana diagnostik noninvasive yang dapat mengetahui adanya iskemik miokard baik dalam keadaan istirahat maupun aktifitas fisik. Normal resting ekokardiografi tidak menyingkirkan adanya iskemik miokard, hal ini disebabkan karena beberapa kemungkinan : pertama, stenosis ringan yang belum mencetuskan iskemik saat istirahat. Kedua, stenosis berat namun ditopang dengan kolateral yang memadai atau pasokan oksigen masih mencukupi kebutuhan miokard saat istirahat. Untuk memastikan adanya iskemik miokard dilakukan stres pada jantung sehingga kebutuhan oksigen miokard meningkat atau pasokan oksigen berkurang, uji ini disebut stress echocardiography (SE)2
SE didasarkan pada konsep timbulya atau memburuknya kontraktilitas miokard regional akibat iskemik yang terdeteksi pada analisa gerakan dinding jantung. Ada dua kelompok SE yaitu ekokardiografi stres fisik (exercise stress echo) dan ekokardiografi stres farmakologi (pharmacology stress echo)2,3.
Pada Tinjauan Pustaka ini akan membahas aplikasi klinis Ekokardiografi stress dobutamin atau Dobutamine stress echocardiograppy (DSE) yang merupakan salah satu contoh dari Pharmacology stress echo.
Naskah lengkap disini
Percutaneous transluminal ballon coronary angioplasty (PTCA) pada lesi bifurkasio(LB) sampai saat ini masih merupakan problem yang dihadapi oleh intervensionis kardiologi. Hal ini terkait dengan tingkat keberhasilan yang rendah, sering terjadi komplikasi serta tingginya insident restenosis pada koroner yang telah dilakukan intervensi.1 Dari suatu laporan disebutkan bahwa Lesi bifurkasio mencakup 15-20 % dari keseluruan tindakan intervensi. Sebagian besar lesi ini ditemukan pada left anterior descending-diagonal selanjutnya circumlex-marginal dan terakhir left main 1,2,3,4
Tindakan PTCA dan memilih teknik intervensi pada LB merupakan pekerjaan yang menantang sehingga memerlukan kejelihan dan kecermatan seorang operator. Beberapa era telah dilalui, berbagai klasifikasi dan teknik telah dikembangkan untuk memperoleh hasil yang maksimal.5
Pada tahun 1980 ketika ballon angioplasty menjadi standar pada prosedur percutaneous koroner, penanganan lesi bifurkasio tetap disadari sebagai tindakan beresiko tinggi terjadi komplikasi iskemik akut (misalnya ; trombosis pada pembuluh darah utama(PU) atau pergeseran plaque ke pembuluh darah cabang(PC) ) dan restenosis. Menghadapi problem tersebut intervensionis kardiologi mengembangkan teknis kissing ballon untuk mengurangi kemungkinan pergeseran plaque ke PC dan meningkatkan outcome terapi. Kendatipun demikian resiko trombosis dan restenosis masih tinggi6,7
Naskah lengkap disini
Saskia D Handari, Yudi Her Oktaviono
Pencegahan terjadinya mikroembolisasi pada distal pembuluh darah koroner saat ini menjadi perhatian penting dalam percutaneous coronary intervention (PCI). Atheromatous dan embolisasi trombotik selama PCI pada infark miokard akut relatif sering terjadi dan memberi dampak pada mikrovaskular. Parameter yang digunakan selama ini antara lain adalah aliran Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI), perfusi miokard secara myocardial blush melalui angiografi opasitas kapiler serta resolusi segmen ST. Manifestasi klinis dari mikroembolisasi antara lain aritmia yang malignant, mikro infark yang tersebar, dan disfungsi kontraktilitas miokard.
Angioplasti primer atau primary PCI telah menunjukkan keunggulan dalam penurunan mortalitas dibanding trombolisis, utamanya karena pencapaian perfusi epikardium yang lebih optimal. Sehingga selain rekanalisasi epikardium yang tampak dalam parameter aliran TIMI 3 perlu kiranya diperhatikan perfusi miokard yang ternyata menunjukkan hasil suboptimal pada 20-40% penderita yang berdampak pada survival jangka panjang. Secara makroskopik diketahui embolisasi distal sebagai faktor penyebab menurunnya perfusi miokard selama angioplasti primer yang terjadi pada sekitar 16% kasus.
Beberapa faktor yang juga berperan dalam penurunan perfusi miokard setelah angioplasti primer dalam beberapa dekade terakhir. Injuri reperfusi mikrovaskular disinyalir mempunyai peranan utama dalam menyebabkan no-reflow phenomenon. Terapi farmakologis yang telah diteliti dan diterapkan untuk mengatasi injuri reperfusi yang mencetuskan iskemia tersebut, antara lain adenosine dan verapamil.
Saat ini embolisasi distal menjadi target terapeutik secara farmakologi ataupun mekanik untuk memperbaiki mikrosirkulasi selama prosedur angioplasti primer. Penghambat glikoprotein IIb/IIIa telah terdokumentasi pada beberapa penelitian meningkatkan aliran mikrovaskular, pemulihan kontraktilitas, dan menurunkan mortalitas pada primary angioplasty STEMI. Sebagai terapi mekanik telah dikenal embolic protection device terdiri dari tipe proksimal dan distal, serta thrombus extraction device.
Naskah lengkap disini
Saskia Dyah Handari, Iwan N Boestan
Pada beberapa dekade terakhir ini, paradigma tentang patofisiologi penyakit arteri koroner (coronary artery diseases-CAD) telah banyak mengalami perkembangan, dan hal ini mempengaruhi terjadinya perubahan konsep dan pendekatan klinis. Dalam pemahaman konvensional, misalnya, lesi aterosklerotik dianggap semata-mata disebabkan oleh adanya penumpukan kolesterol, karena itu penatalaksanaannya diutamakan pada upaya mengatasi gangguan kolesterol tersebut. Hal ini berbeda dengan pemahaman saat ini yang mempertimbangkan bahwa lesi aterosklerotik bukan hanya disebabkan oleh adanya kelainan kolesterol tetapi juga dipicu oleh faktor-faktor lain termasuk proses immunologis dan inflamasi. Anggapan konvensional yang lain bahwa plaque disruption merupakan penyebab utama terjadinya critical stenosis pada CAD. Saat ini ditunjukkan bahwa selain karena adanya kondisi solid state dari plaque disruption yang menimbukan acute coronary syndromes (ACS), terdapat faktor-faktor yang juga berperanan bagi terjadinya ACS antara lain fluid phase. Terjadinya perubahan dalam sistem koagulasi darah, termasuk gangguan keseimbangan mediator protrombotik dan antifibrinolitik, merupakan fenomena fluid phase yang ternyata juga berperanan penting bagi terjadinya proses aterosklerotik. Terdapat perubahan yang mendasar menyangkut pandangan terkini CAD menyebabkan lahirnya konsep-konsep baru dalam pendekatannya. Para ahli saat ini, misalnya, mulai merekomendasikan bahwa selain penatalaksanaan lokal terhadap culprit lesion pada CAD, perlu dilakukan upaya menstabilkan faktor-faktor lain yang berperanan bagi plaque disruption, termasuk menstabilkan fluid phase dan proses inflamasi. (Libby,2005).
Naskah lengkap disini
Feokromositoma adalah tumor yang mensekresi katekolamin, dihasilkan oleh sel kromafin dimana 95% terdapat pada kelenjar adrenal. Tumor ini sering disebut “the 10% tumor” karena bersifat 10 % ganas, 10% bilateral, 10% terjadi pada anak-anak, 10% ekstra adrenal dan 10% bersifat familial (Firstgerald, 2004; Kaltsas, 2004).
Gejala yang ditimbulkan berhubungan dengan kelebihan katekolamin yang merangsang sistem persyarafan simpatis meliputi trias feokromositoma berupa berdebar, berkeringat, dan nyeri kepala yang terjadi secara paroksismal. Trias ini pada penderita hipertensi mempunyai spesifitas 93.8% dan sensitivitas 90.9% untuk diagnosis secara klinis suatu feokromositoma (Williams,1992). Manifestasi klinis selanjutnya sangat bervariasi tergantung pada sensitivitas individu terhadap katekolamin dan organ yang terlibat.
Manifestasi klinis feokromositoma pada jantung adalah nyeri dada dengan spektrum angina pektoris hingga infark miokard akut dimana tidak ditemukan aterosklerosis sebagai penyakit dasarnya. Diduga katekolamin meningkatkan konsumsi oksigen miokardium dan menyebabkan spasme koroner (Roberts,2000).
Beberapa keadaan dapat menyerupai gejala feokromositoma dengan disertai peningkatan katekolamin. Penghentian terapi klonidin secara mendadak juga memberikan gambaran klinis yang mirip feokromositoma. Gangguan serebral seperti vaskulitis serebral, perdarahan subarachnoid dan peningkatan tekanan intra kranial juga memberikan gambaran yang sama. Obat-obatan seperti amfetamin, efedrin, pseudoefedrin, isoproterenol, phenylpropanolamine dan kokain juga meningkatkan katekolamin (Williams,1992).
Naskah lengkap disini
Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi kemajuan besar dalam penggunaan teknik intervensi kateterisasi pada penatalaksanaan kelainan-kelainan katup jantung misalnya percutaneous valve replacement.. Salah satu faktor pendorong kemajuan ini adalah tindakan koreksi berupa operasi jantung terbuka pada penderita-penderita kelainan jantung bawaan. Tetralogy of Fallot merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang paling sering dijumpai dengan prevalensi sekitar 10%. Saat ini banyak sekali penderita TOF yang mencapai usia dewasa terutama yang telah mengalami total koreksi berupa penutupan VSD, pelebaran RVOT dengan cara reseksi otot infundibular subpulmonal dan pelebaran stenosis pulmonal. Penutupan area yang terbuka saat melakukan pelebaran RVOT dilakukan dengan penempatan patch dari pericardnya sendiri, namun tindakan ini dapat menimbulkan sekuel di kemudian hari berupa kondisi aneurismatik, disamping itu terdapat korelasi antara ukuran patch dengan derajat keparahan dari regurgitasi pulmonal yang terjadi. (Feldman, 2006; Boenhoeffer 2000) Hal ini juga terjadi di RSUD Dr Soetomo Surabaya dimana hampir seluruh penderita paska koreksi bedah TOF terjadi sekuel regurgitasi pulmonal.
Kondisi ini menempatkan kardiolog pada posisi yang sulit saat penderita paska repair TOF menginjak usia dewasa karena kelainan regurgitasi pulmonal menimbulkan resiko untuk tindakan reoperasi. Sehingga dipikirkan tindakan non bedah untuk mengatasi sekuel ini dan sejak tahun 2000 berkembanglah berbagai penelitian intervensi perkutan dalam upaya mengatasi problem tersebut (Boenhoeffer,2000).
Naskah lengkap disini